JAKARTA/TABENGAN.CO.ID – Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah Andina Thresia Narang menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI, Senin (8/12).
Dalam rapat tersebut, politisi muda dari Partai NasDem Kalteng itu menyampaikan apresiasi atas respons cepat Komdigi dalam penanganan bencana, sekaligus menyoroti isu krusial terkait keamanan ruang digital, khususnya bagi anak-anak di bawah umur.
Mengawali paparannya, Andina Narang menyampaikan rasa duka cita mendalam atas musibah banjir yang menimpa masyarakat di Sumatera. Ia kemudian memberikan apresiasi kepada Menteri Komdigi beserta jajaran atas upaya keras yang dilakukan dalam menanggulangi dampak bencana.
“Sebelumnya saya mengapresiasi terlebih dahulu Kementerian Komdigi dalam menanggapi bencana banjir yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera. Bukan hanya tanggap dalam menangani konektivitas jaringan internet saja, tetapi hadir membuka posko psikososial atau trauma healing bagi anak-anak yang terdampak merupakan langkah tepat yang harus dilakukan,” ujar Andina.
Berdasarkan data terkini, total 602 titik Akses Internet BAKTI terdampak di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, di mana 413 titik berhasil dipulihkan dan 189 titik dalam proses. Upaya pemulihan Base Transceiver Station (BTS) di tiga provinsi tersebut terus dikebut.
Selain itu, 17 titik lokasi telah dipasangi layanan internet Darurat SATRIA-1 untuk mendukung komunikasi kritis di lokasi terdampak, termasuk di fasilitas publik dan posko pengungsian.
Dalam sesi RDP tersebut, Andina Narang secara khusus juga menyoroti permasalahan mendasar terkait perlindungan anak di ruang digital. Ia mengakui langkah pemerintah yang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS), namun menilai implementasinya di lapangan masih lemah.
“Kami memahami bahwa PP TUNAS telah diterbitkan untuk melindungi anak-anak Indonesia di ruang digital, termasuk mekanisme verifikasi usia dan pembatasan akses konten. Namun dari pengawasan kami, implementasi di lapangan belum ketat, verifikasi usia masih bersifat self-declared, standar teknis tidak seragam, dan sanksi belum dijalankan secara tegas,” katanya.
Mengacu pada kondisi ini, Andina mengajukan pertanyaan strategis kepada kementerian. “Dalam kondisi ini, bagaimana pemerintah menjamin bahwa PP TUNAS bukan hanya norma di atas kertas, tetapi benar-benar mampu mencegah paparan konten negatif, adiksi digital, dan eksploitasi online bagi anak-anak?” tanyanya.
Ia kemudian mendesak Komdigi untuk meninjau ulang kerangka hukum yang ada. “Melihat keterbatasan ini, kiranya apakah kita perlu mempertimbangkan untuk menyusun Regulasi khusus perlindungan anak di ruang digital agar regulasinya lebih mengikat, sanksi jelas, dan mekanisme pengawasannya terintegrasi sehingga PP TUNAS tidak menjadi regulasi tunggal tetapi bagian dari kerangka hukum komprehensif?”
Andina menekankan bahwa perhatian khusus terhadap keamanan ruang digital bagi anak-anak di bawah umur ini telah diterapkan secara serius oleh banyak negara lain, seperti Australia, Malaysia, dan Inggris (UK). Ia berharap Indonesia dapat memiliki regulasi yang sama kuatnya untuk menjamin masa depan digital yang aman bagi generasi penerus bangsa. rmp





