Hukrim  

Fenomena VCS, Tantangan Kompleks Era Digital

Fenomena VCS, Tantangan Kompleks Era Digital
Ari Pamungkas Psikolog IAIN Palangka Raya

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Perkembangan teknologi yang pesat tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga menghadirkan tantangan baru, terutama terkait moral dan perilaku sosial. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan adalah Video Call Sex (VCS), yang tidak hanya berisiko bagi para pelaku, tetapi juga menjadi pintu masuk ke berbagai bentuk kejahatan, termasuk pemerasan.

Menurut Dosen Bimbingan Konseling (BK) Islam IAIN Palangka Raya Ari Pamungkas, VCS merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang kini banyak dilakukan oleh pasangan lawan jenis dengan menggunakan aplikasi video kamera. Praktik ini dilakukan untuk memenuhi hasrat seksual dengan cara menampilkan bagian tubuh yang sensitif. Namun, di balik tujuan awal untuk mendapatkan kepuasan, ada risiko besar yang sering kali tidak disadari oleh korban.

“Dalam beberapa kasus, salah satu pihak memanfaatkan rekaman VCS untuk melakukan pemerasan terhadap pasangannya. Faktor cinta, kepercayaan, dan hasrat seksual menjadi pemicu seseorang terjerat dalam fenomena ini,” ujar Ari saat diwawancarai Tabengan, Kamis (23/1).

Selain faktor seksual, aspek ekonomi juga menjadi penyebab munculnya praktik ini. Banyak korban tergiur oleh iming-iming materi atau uang yang dijanjikan oleh pelaku. Selain itu, krisis moral di masyarakat, rendahnya rasa percaya diri, dan kebutuhan akan penerimaan sosial juga turut berkontribusi.

“Pengaruh media dan lingkungan sering kali membentuk konsep bahwa hal ini adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah hubungan. Padahal, pemahaman seperti ini justru membuka peluang terjadinya eksploitasi seksual,” tambahnya.

Ari menegaskan bahwa pendidikan seksual sejak dini sangatlah penting untuk memberikan pemahaman tentang risiko dari perilaku menyimpang ini.

“Anak-anak zaman sekarang tumbuh di era teknologi serba cepat dan serba mudah. Hal ini menuntut perhatian lebih dalam membentuk perilaku mereka,” tegasnya.

Selain itu, keluarga memiliki peran utama dalam memberikan perlindungan dan edukasi kepada anak-anak. Hubungan yang hangat, komunikasi yang baik, dukungan positif, serta pemahaman tentang pergaulan sehat dapat menjadi benteng utama melawan dampak negatif teknologi.

Menurut Ari, pendekatan personal dan komunitas dengan bahasa yang relevan dengan tren anak muda saat ini juga sangat diperlukan.

“Pendekatan yang terlalu kaku justru akan membuat anak menjauh. Kita harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” ungkapnya.

Ari juga melihat bahwa fenomena VCS dan prostitusi daring merupakan masalah yang sangat kompleks. Permasalahan ini tidak hanya melibatkan aspek psikologis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan teknologi.

“Penanganannya tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan kolaborasi yang melibatkan keluarga, pemerintah, pendidik, LSM, serta ahli kesehatan fisik dan mental,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa fenomena ini harus ditangani secara serius, dengan pendekatan yang menyeluruh. Tujuannya tidak hanya untuk mengatasi dampaknya, tetapi juga mencegah hal serupa terjadi di masa depan.

“Dengan pendidikan yang tepat, dukungan keluarga, serta kesadaran kolektif dari masyarakat, kita bisa melindungi generasi muda dari bahaya kekerasan dan eksploitasi seksual di era digital,” pungkasnya.

 

Kejahatan Teknologi Dilaporkan Lewat UU ITE

Fenomena VCS seringkali melibatkan generasi Z atau remaja sebagai sasaran pelaku melalui rayuan dan ajakan. Dosen IAIN Palangka Raya Bidang Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Heri Setiawan, menerangkan jika korban yang mengalami ancaman dapat melaporkan hal tersebut karena telah diatur di Undang-undang Informasi, Teknologi dan Elektronik (ITE).

“Tetapi itu kembali lagi ke korban. Biasanya korban melakukan itu secara sadar melakukan VCS itu, tapi tetap di sisi lain memang ada salah juga. Korban VCS kenapa mau melakukan itu,” ujar Heri, Kamis (23/1).

Fenomena VCS, Tantangan Kompleks Era Digital
Heri Setiawan Pakar Komunikasi IAIN Palangka Raya

Ia beranggapan, korban biasanya tidak berpikir lebih jauh ketika melakukan perbuatannya.  Padahal sebenarnya video seperti itu dalam zaman digital saat ini dapat dijadikan modus kejahatan.

“Zaman digital saat ini sangat mudah untuk direkam, kemudian bisa disebarkan. Jadi korban sebenarnya harus sadar juga bahwa apa yang dilakukan di platform digital itu kan sebenarnya tersimpan,” lanjutnya.

Dalam menangani hal, Heri menghimbau kepada setiap orang tua untuk lebih berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap pergaulan anak-anaknya. Apa lagi ketika saat diluar rumah, banyak modus yang bisa menjerumuskan anak yang masih labil.

“Peran orang tua yang paling penting, harus tetap mengawasi anak-anaknya, memberi arahan atau memberi bimbingan,” imbaunya.

Selain itu, juga perlu adanya kesadaran diri masing-masing untuk menyadari bahwa dampak negatif dari melakukan hal tidak senonoh itu melalui media sosial. Masyarakat harus lebih sadar bahwa banyak modus kejahatan yang mengintai di sekitar, perlunya batasan-batasan yang harus dijaga.

” Jika terjadi pengancaman, sebaiknya orang tua berperan langsung untuk mendampingi korban untuk bermediasi ke pihak kepolisian sebagai bentuk kelangsungan psikologi korban, terkadang korban malu karena hal yang dilakukannya,” tutupnya. dte/mak