Tito Anggap OTT Kepala Daerah Hal Biasa

JAKARTA/tabengan.co.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan soal keinginannya untuk mengevaluasi pilkada langsung. Tito menyebut adanya potensi konflik hingga biaya politik yang tinggi.

“Itu belum termasuk politik biaya tinggi untuk calon kepala daerah. Ini dari empirik saja, untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati kalau nggak punya Rp 30 M, nggak berani. Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan nggak bayar, nol persen, saya pengin ketemu orangnya,” ungkap Tito dalam rapat bersama Komite I DPD, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Tito mengatakan biaya itu digunakan untuk kebutuhan teknis dan nonteknis pilkada seperti kampanye dan biaya saksi. Tito lalu membandingkan dengan gaji yang diterima para kepala daerah.

“Sementara dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), 5 tahun Rp 12 M, keluar Rp 30 M. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa. Tapi ada 1.001 mungkin ya, ada,” bebernya.

Eks Kapolri itu mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah menjadi biasa. Pasalnya, menurut dia, sudah tercipta sistem yang membuat kepala daerah berpotensi melakukan korupsi.

“Bagi saya yang mantan pimpinan penegak hukum, OTT kepala daerah bagi saya bukan sesuatu hal yang luar biasa, bukan prestasi hebat. Karena sistem politiknya membuat dia harus balik modal. Sehingga ya tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, teknik-teknik investigasi, menarget kepala daerah, itu sangat mudah sekali,” jelasnya.

“Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu untuk korupsi. Kalau ada yang memang tidak melakukan itu, kita sangat bersyukur,” imbuhnya.

Karena sejumlah dampak negatif itulah Tito ingin ada evaluasi untuk pilkada langsung. Namun ia menegaskan evaluasi harus dilakukan dengan kejadian akademik, bukan hanya bukti empirik.d-com