SAMPIT/tabengan.co.id – Nenek Ida masih tetap bersemangat mengupas kelapa meski panas sinar mentari sudah mulai menyengat kulit rentanya. Hanya bermodalkan sebuah parang, sabut kelapa dikupas lalu dipecahkannya batok kelapa dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Kelapa tersebut akan dijadikan kopra, yang menjadi mata pencahariannya sejak puluhan tahun lalu.
Hari itu nenek Ida tidak sendiri. Dia ditemani oleh Sersan Dua Gunawan, anggota Satuan Tugas (Satgas) Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) Reguler ke-109 dari Kodim 1015 Sampit, yang sedang melaksanakan rehab tiga buah jembatan di Desa Bapinang Hilir dan Desa Babirah, Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Mengupas kelapa untuk dijadikan kopra tidak mudah. Bagi yang belum terbiasa, mengupas satu kelapa saja bisa membutuhkan waktu lama. Apalagi kelapa yang sudah tua, serabutnya alot dan batoknya cukup keras sehingga harus hati-hati jika tidak ingin terluka. Nenek Ida sudah mengupas beberapa buah kelapa hari itu. Dia masih cekatan, namun tenaganya sudah tidak sekuat dulu lagi. Nafasnya sudah tersengal saat hari mulai panas.
Serda Gunawan yang sudah sepekan lebih berada di Desa Bapinang Hilir untuk melaksanakan kegiatan TMMD ikut membantu nenek Ida mengupas kelapa. Memiliki tenaga yang kuat bukan berarti Serda Gunawan lebih cekatan, namun begitu bagi nenek Ida itu sudah cukup membantu.
Seharian mengupas kelapa untuk dijadikan kopra tidak memberikan hasil yang besar bagi Nenek Ida. Apalagi pada saat pandemi covid – 19 saat ini. Harga buah kelapa maupun kopra turun. Jika sebelumnya harga kopra sekitar Rp4.500 per kilogram, saat pandemi covid – 19, harga kopra turun hingga Rp3.000 per kilogram. Sedangkan harga buah kelapa lebih anjlok lagi, hingga hanya Rp1.000 per butir. Padahal biasanya bisa sampai Rp1.800 per butir. “Dari hasil menjual kopra, sehari paling dapatnya Rp30 ribu,” kata nenek Ida.
Selain itu, masih buruknya infrastruktur dan terisolirnya Kecamatan Pulau Hanaut membuat kesulitan petani kelapa semakin lengkap. “Kalau memasarkan kelapa maupun kopra, kami harus melewati beberapa jembatan yang sudah rusak menuju dermaga. Baru setelah itu dibawa menggunakan perahu ke Samuda, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, di sana ada pengepulnya,” ungkapnya.
Nenek Ida hanya satu dari ratusan petani kelapa di Kecamatan Pulau Hanaut. Kecamatan ini masih terisolir karena tidak bisa diakses melalui jalan darat dari Kota Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur. Satu-satunya akses transportasi untuk mencapai kecamatan ini hanya bisa melalui transportasi sungai.
Kecamatan ini memiliki luas 630 kilometer persegi, terdiri dari 14 desa dengan jumlah penduduk sekitar 17.324 jiwa. Kecamatan ini berada di sebelah selatan Kabupaten Kotawaringin Timur, berbatasan dengan Kecamatan Seranau di utara, Kabupaten Katingan di sebelah timur, Laut Jawa di selatan dan Sungai Mentaya di sebelah barat. Lebar Sungai Mentaya di daerah ini mencapai 1,2 kilometer.
Camat Pulau Hanaut, H. Eddy Mashami mengungkapkan, usaha kelapa di daerahnya sangat potensial. Sebagian besar diolah menjadi kopra dan ada juga yang dijual dalam bentuk kelapa muda. Setiap tiga bulan, Kecamatan Pulau Hanaut mampu menghasilkan 16.600.000 butir lebih buah kelapa. Namun besarnya potensi tersebut masih terkendala masalah pemasaran dan infrastuktur.
Sejak awal pandemi covid -19 melanda sekitar bulan Maret 2020, para petani kelapa mulai resah. Sebab permintaan kelapa dan kopra mulai berkurang dan harganya juga menurun. Harga kelapa dari petani di Kecamatan Pulau Hanaut sering kalah bersaing dengan kecamatan lain di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Pasalnya, kelapa produksi petani Pulau Hanaut masih terbebani biaya transportasi, walaupun kualitas kelapanya tergolong bagus. “Saat mengangkut kelapa menuju dermaga tidak bisa membawa dalam jumlah besar, karena ada tiga jembatan rusak yang harus dilewati warga. Yaitu jembatan Handil Gayam dan jembatan Handil Samsu di Desa Bapinang Hilir serta jembatan Sei Babirah di Desa Babirah,” terang Camat Pulau Hanaut.
Jembatan Handil Gayam memiliki panjang 15 meter dan lebar 3,80 meter sedangkan jembatan Handil Samsu panjangnya 42 meter dan lebar 3,80 meter. Kemudian jembatan Sei Babirah memiliki panjang 42 meter dan lebar dan lebar 3,80 meter. “Jika kondisi ketiga jembatan tersebut bagus, pasti akan memudahkan warga mengangkut kelapa maupun kopra mereka,” jelas H. Eddy Mashami.
Ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan new normal atau kebiasan baru terkait pandemi covid-19, perekonomian mulai bergeliat. Permintaan kelapa dan kopra juga mengalami dan harganya semakin membaik, harga kopra saat ini di kisaran Rp4.000 per kilogram. Sedangkan harga kelapa saat ini sekitar Rp1.500 per butir. Namun itu belum cukup untuk membuat petani kelapa di Kecamatan Pulau Hanaut bersemangat. Mereka masih khawatir dengan kondisi infrastruktur, khususnya kondisi jembatan yang rusak di wilayah mereka.
“Tetap sulit membawa kopra atau kelapa melewati jembatan rusak. Keuntungannya masih belum sebanding dengan potensi kerugian yang diderita bila jatuh atau terperosok di jembatan itu. Biasanya warga membawa kelapa dalam jumlah yang sedikit baru warga berani melintas,” jelas camat Pulau Hanaut. Membawa kopra melalui jalur sungai juga berisiko, karena mereka harus melewati anak-anak sungai yang rata-rata adalah habitat buaya muara.
Doa dan harapan warga Kecamatan Pulau Hanaut akhirnya terjawab saat kecamatan tersebut menjadi salah satu lokasi kegiatan TMMD Reguler ke – 109 yang dilaksanakan sejak tanggal 22 September 2020 hingga tanggal 21 Oktober 2020. Ada lima sasaran fisik yang dilaksanakan dalam TMMD tersebut yaitu rehab tiga buah jembatan yaitu jembatan Handil Gayam, Handil Samsu dan Sei Babirah. Kemudian renovasi musala Al Hidayah serta pembangunan sebuah pos terpadu.
Komandan Satgas TMMD Reguler ke-109 yang juga Dandim 1015 Sampit. Letkol Czi Ahmad Safari mengungkapkan, dipilihnya Kecamatan Pulau Hanaut sebagai lokasi TMMD adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. “Kecamatan Pulau Hanaut masih terisolir dan perekonomian warganya sangat terganggu akibat adanya jembatan yang rusak di daerah tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, pihaknya sudah melakukan survei terhadap ketiga jembatan yang rusak tersebut. Kondisinya memang sangat memprihatinkan, karena usia rata-rata jembatan tersebut sekitar 30 tahun lebih, dan belum pernah mendapatkan perbaikan. Apalagi konstruksinya terbuat dari kayu.
“Banyak pilar dan lantai jembatan yang sudah lapuk sehingga membahayakan warga yang melintas di atasnya. Juga tidak ada pagar pengaman jembatan, sehingga saat hujan turun, jembatan menjadi licin, dan bila tergelincir bisa langsung jatuh ke sungai,” terangnya.
Melakukan rehab jembatan di Kecamatan Pulau Hanaut memiliki banyak tantangan. Sebagian besar material harus didatangkan dari luar kecamatan. Artinya harus diangkut menggunakan kapal kecil yang oleh warga setempat biasa disebut kelotok.
“Kita tidak bisa membawa material hanya dalam satu kelotok, perlu beberapa kelotok untuk membawanya. Selain itu setibanya di dermaga, material ini juga dibawa lagi ke beberapa anak sungai menuju lokasi rehab jembatan, karena material tidak bisa dibawa melalui jalan darat,” jelas Dandim.
Pengerjaan rehab ketiga jembatan tersebut mulai dilaksanakan sejak TMMD Reguler ke-109 dibuka, 22 September 2020. Sekitar 125 personel TNI dibantu oleh masyarakat bahu membahu untuk menyelesaikan rehab tiga jembatan tersebut. Mereka hanya memiliki waktu satu bulan yaitu hingga 21 Oktober 2020.
“Satgas TMMD merehab total dua buah jembatan yaitu Handil Gayam dan Handil Samsu. Untuk jembatan Sei Babirah hanya rehab ringan. Material yang digunakan untuk rehab jembatan ini adalah kayu ulin. Harapannya jembatan bisa bertahan lama,” lanjut Dandim.
Setelah 27 hari melakukan gotong royong, Minggu 18 Oktober 2020 rehab ketiga jembatan tersebut akhirnya tuntas. Masyarakat Pulau Hanaut sangat gembira. Mereka tidak takut lagi membawa kelapa sebagai bahan baku pembuatan kopra dalam jumlah besar melewati jembatan tersebut.
“Ketika ketiga jembatan ini selesai direhab, warga langsung memanfaatkannya, termasuk membawa hasil pertanian dan perkebunan mereka seperti kelapa maupun hasil olahan kelapa yaitu kopra untuk dijual ke daerah lain,” terang Akhmad Safari.
Sejumlah kendaraan bermotor dengan membawa kelapa terlihat hilir mudik melewati ketiga jembatan tersebut. Mereka kini tidak khawatir lagi melintasi jembatan-jembatan itu meski mebawa muatan dalam jumlah banyak. Di kecamatan ini tidak ada kendaraan roda empat. Mereka biasanya membawa kelapa dengan kendaraan roda dua.
“Beberapa petani kelapa kini mulai membuat kopra. Mereka antusias karena salah satu kesulitan yang dihadapi sudah teratasi,” terang Kepala Desa Bapinang Hilir Kecamatan Pulau Hanaut, Bahriansyah.
Dia berharap kondisi perekonomian semakin membaik sehingga kesejahteraan warganya juga meningkat. Saat ini sudah ada harapan harga kelapa maupun kopra kembali membaik. Mereka tidak ingin hanya bergantung pada bantuan pemerintah saja untuk menghadapi kemerosotan ekonomi akibat pandemi covid – 19. TMMD sudah memberikan harapan, dan kini tinggal mereka yang memilih untuk menentukan nasibnya bangkit dari keterpurukan. (Arbit Safari/Tabengan)