PALANGKA RAYA/tabengan.co.id – Berawal dari komentar pada media sosial, ternyata berujung perseteruan antara Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Andrie Elia Embang SE MSi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah.
“Saya mewakili permintaan masyarakat yang merasa tidak terima terkait ucapan menjaga kewarasan,” ujar Andrie yang juga Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah.
Setelah sempat berseteru, kedua pihak mau akhirnya duduk bersama untuk penyelesaian sengketa adat melalui Let Perdamaian Adat di Betang Harudut Kota Palangka Raya, Sabtu (14/11/2020).
Andrie menyebut, anggota Walhi sebagai anak-anaknya, namun mereka juga harus menjaga sikap maupun ucapan yang belum tentu dapat diterima masyarakat Kalteng.
Dalam postingan pada medsos tersebut tertulis ‘Andrie Elia Embang mari kita doakan kak jaga kesehatan dan kewarasan’. Akibat ucapan tersebut banyak kolega akademisi Andrie maupun masyarakat adat Dayak yang keberatan dengan komentar yang diposting dalam akun Walhi Kalteng. Pasalnya, ucapan kewarasan dalam masyarakat Dayak Kalteng seakan yang bersangkutan pernah diobati karena gangguan kejiwaan.
Andrie memilih perdamaian adat sebagai jalan terbaik untuk memperbaiki hubungan, ketimbang harus menempuh jalur hukum atau pidana. Dia menyatakan sikapnya meminta sidang adat agar dapat cepat meredam kemungkinan timbulnya masalah lebih lanjut antara Walhi dan masyarakat Dayak.
Andrie menyebut peradilan adat tidak ada sanksi sampai menghukum dan berprinsip utama pada perdamaian.
“Walhi bagian dari lingkungan hidup kan menyangkut budaya, bukan hanya menyangkut tumbuhan atau hutan, tapi juga melindungi adat. Kita apresiasi mereka menghargai adat,” tandas Andrie.
Terpisah, Dimas Novian Hartono selaku Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengaku tidak menyangka tulisan dalam akun medsos Walhi tersebut bakal menyinggung pihak lain.
Dia menyebut tulisan jaga kesehatan dan jaga kewarasan pernah digunakan oleh Menteri Agama, namun tidak ada masalah yang muncul. Dimas balik mengapresiasi sikap Andrie dan menyebutnya sebagai contoh kearifan lokal dalam menyelesaikan permasalahan secara damai tanpa harus melibatkan lembaga hukum negara. Dia berharap pola penyelesaian adat dapat terus dilakukan dalam setiap permasalahan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat.
“Karena selama ini bila masyarakat berkonflik dengan pihak investor dan korporasi, posisi masyarakat adat selalu lemah. Dengan adanya sidang adat, posisi masyarakat adat dapat lebih tinggi lagi,” pungkas Dimas.
Dalam acara perdamaian tersebut, Andrie dan Dimas menjalani beberapa prosesi adat dipimpin oleh Kardinal Tarung selaku Ketua Let Perdamaian Adat.
Keduanya saling menyuapi pulut atau ketan sebagai simbol merekatkan kembali hubungan baik, membagi hati seekor ayam sebagai simbol menyatukan hati, minum air dari satu sumber sebagai simbol unsur pokok kehidupan, mengenakan gelang sebagai simbol pengingat agar senantiasa menjaga tindakan dan ucapan di masa mendatang, serta melaksanakan upacara tampung tawar.
Perdamaian adat yang juga dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng dan Kapolsek Pahandut tersebut berakhir dengan acara makan bersama dalam suasana santai dan penuh keakraban. dre