Teras Apresiasi Putusan MK Soal Upah Pekerja

Teras Apresiasi Putusan MK Soal Upah Pekerja
Agustin Teras Narang

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU CK) melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 31 Oktober 2024 (Kompas, 29/10/2025).

“Putusan yang penting dan memberi harapan karena menyangkut kehidupan jutaan pekerja Indonesia dalam soal kebijakan pengupahan minimum. Tak kalah penting, putusan MK yang final dan mengikat itu, menegaskan pentingnya peran daerah soal penentuan upah,” kata Teras dalam rilisnya, Kamis (31/10).

Dijelaskan, salah satu pasal yang diuji adalah Pasal 88D ayat (2) UU Cipta Kerja, yang mengatur formula penghitungan upah minimum dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Frasa terakhir itulah, “indeks tertentu”, yang kemudian dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dimaknai sebagai variabel yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.

Lebih jauh, MK juga menilai bahwa Pasal 88 ayat (2) UU Cipta Kerja yang berbunyi “pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jika dimaknai sebagai kebijakan yang disusun dengan melibatkan Dewan Pengupahan Daerah, yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah, serikat pekerja, dan pengusaha. Dengan kata lain, kebijakan upah minimum tidak boleh lagi bersifat top-down; ia harus lahir dari dialog dan partisipasi aktif daerah.

MK juga menilai bahwa “Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’,” tulis MK dalam putusannya.

Menurut Teras, putusan ini juga mengembalikan hadirnya penentuan Upah Minimum Sektoral (UMS). Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan UMS terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang ditandatangani pada 2003. MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan kaum buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja. Sebab, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda.

“Putusan ini menandai perubahan penting dalam paradigma hubungan industrial Indonesia. MK secara eksplisit menempatkan partisipasi daerah dan keterlibatan pekerja sebagai bagian tak terpisahkan dari proses penentuan upah minimum. Ini bukan hanya soal teknis penghitungan upah, tetapi juga soal penghormatan terhadap semangat desentralisasi dan keadilan sosial dalam bingkai negara kesatuan,” katanya.

Dengan keluarnya putusan tersebut, mantan Gubernur Kalteng dua periode ini mendesak agar pemerintah pusat dan DPR RI untuk memenuhi berkewajibannya, segera menyesuaikan ketentuan yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tersebut. Setiap kebijakan turunan yang masih mengacu pada pasal-pasal lama pun agar segera direvisi sehingga sejalan dengan tafsir konstitusional terbaru.

Teras menegaskan, lebih dari sekadar koreksi hukum, putusan ini adalah pengingat moral: bahwa kesejahteraan pekerja tidak boleh direduksi menjadi sekadar angka ekonomi. Begitu pun peran daerah tidak dapat diabaikan dengan langkah sentralisasi kebijakan.

Aspek keadilan sosial sebagaimana ditegaskan Pancasila mesti menjadi rujukan. Terlebih mandat konstitusi yang menegaskan tujuan kehadiran negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Frasa yang berarti seluruh kebijakan negara, termasuk di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, dan sosial, harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk para pekerja yang menurut konstitusi pada pasal 27 ditegaskan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. ist