Malaysia dan Australia Batasi Medsos Anak, Indonesia Perlu Langkah Serupa yang Lebih Kuat

Malaysia dan Australia Batasi Medsos Anak, Indonesia Perlu Langkah Serupa yang Lebih Kuat
 Anggota Komisi I DPR RI Andina Thresia Narang

JAKARTA/TABENGAN.CO.IDRencana Malaysia untuk melarang penggunaan media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun mulai 2026, menambah daftar negara yang mengambil langkah tegas melindungi anak di ruang digital. Kebijakan ini berjalan seiring dengan tren global, di mana sejumlah negara, termasuk Australia, tengah memperketat batas usia dan mekanisme verifikasi bagi pengguna media sosial demi mencegah dampak negatif terhadap kesehatan mental, keamanan, dan keselamatan anak.

Di saat yang sama, berbagai riset dan laporan internasional menunjukkan bahwa anak-anak semakin rentan menjadi sasaran kejahatan berbasis daring, mulai dari paparan paham radikal dan konten ekstremisme, perundungan siber, penipuan keuangan, eksploitasi seksual, hingga kasus penculikan yang berawal dari interaksi di media sosial.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting bagi Indonesia: sejauh mana perlindungan anak di ruang digital sudah diatur secara memadai, dan apakah upaya yang ada saat ini perlu diperkuat di tingkat undang-undang.

Menanggapi perkembangan tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Andina Thresia Narang menilai langkah Malaysia dan Australia harus menjadi alarm bagi Indonesia agar tidak terlambat memperkuat perlindungan anak di ruang digital.

Menurutnya, pemerintah perlu segera mengkaji berbagai opsi pembatasan dan pengaturan akses media sosial bagi anak di bawah umur, dengan tetap menjaga ruang kreativitas dan kebebasan berekspresi yang sehat.

“Malaysia sudah bergerak dengan rencana melarang media sosial bagi anak di bawah 16 tahun. Australia juga sedang memperketat aturan usia pengguna media sosial. Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita perlu mengkaji secara serius apa model pengaturan yang paling tepat untuk konteks kita,” ujar Andina di Jakarta, Senin (25/11).

Andina menegaskan bahwa kekhawatiran utama bukan sekadar soal gawai atau aplikasi, tetapi eksposur anak terhadap berbagai bentuk kejahatan dan konten berbahaya di ruang digital.

Ia menyebut sejumlah risiko yang terus meningkat, mulai dari paparan paham radikal dan terorisme, penculikan yang berawal dari pertemanan di media sosial, penipuan dan eksploitasi ekonomi, hingga pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak.

“Kasus-kasus kejahatan yang menyasar anak di ruang digital sudah terlalu banyak. Anak bisa direkrut, diperdaya, dan dieksploitasi hanya lewat satu akun media sosial. Negara tidak boleh terlambat memberikan pagar yang jelas untuk melindungi mereka,” tegasnya.

Andina mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menerbitkan regulasi terkait pelindungan anak di ruang digital yang dikenal luas sebagai PP TUNAS. Aturan ini mewajibkan platform digital untuk melakukan verifikasi usia, menyaring konten berbahaya, serta menyediakan mekanisme pelaporan dan penanganan yang lebih ramah anak.

“PP TUNAS adalah kemajuan penting dan patut diapresiasi. Namun, saat ini ia masih berada pada level peraturan pemerintah. Ke depan, Komisi I memandang perlu ada penguatan di level undang-undang agar perlindungan anak di ruang digital memiliki basis hukum yang lebih kuat dan komprehensif,” jelas Andina.

Ia menilai, langkah negara-negara tetangga yang memasukkan isu perlindungan anak di ruang digital dan pembatasan usia media sosial ke dalam kerangka undang-undang seharusnya menjadi bahan perbandingan bagi Indonesia.

Menurutnya, pembelajaran dari Malaysia, Australia, dan negara lain dapat membantu Jakarta merancang aturan yang seimbang antara perlindungan, pendidikan digital, dan ruang bagi inovasi.

“Banyak negara sudah bergerak dari sekadar imbauan dan regulasi teknis menuju pengaturan yang lebih kokoh di undang-undang. Indonesia perlu mempelajari praktik baik itu, bukan untuk menyalin mentah-mentah, tetapi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan nilai-nilai kita sendiri,” katanya.

Andina menekankan, setiap kebijakan pembatasan akses media sosial bagi anak harus dilandasi pendekatan kepentingan terbaik bagi anak, didukung data dan kajian akademik, serta melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk orang tua, guru, psikolog, pegiat perlindungan anak, pelaku industri digital, dan komunitas kreator konten.

“Kita tidak ingin sekadar membuat aturan yang sulit dilaksanakan di lapangan. Yang dibutuhkan adalah desain kebijakan yang realistis, dapat diawasi, dan benar-benar melindungi anak. Itu berarti kita juga harus memperkuat literasi digital, peran keluarga, dan pendidikan karakter, bukan hanya mengandalkan sanksi,” tambahnya.

Sebelumnya, Andina juga mendorong pengaturan lisensi atau sertifikasi bagi influencer yang memproduksi konten berisiko tinggi, seperti kesehatan, keuangan, dan hukum. Menurutnya, pengaturan lisensi influencer dan pembatasan akses media sosial bagi anak adalah dua sisi dari agenda besar yang sama, yaitu memastikan ruang digital yang aman, sehat, dan bertanggung jawab bagi publik, khususnya kelompok rentan seperti anak.

“Ruang digital Indonesia harus tetap kreatif dan dinamis, tetapi keamanan dan keselamatan anak adalah prioritas yang tidak bisa ditawar. Komisi I siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mengkaji seluruh opsi kebijakan, termasuk kemungkinan penguatan di undang-undang, agar Indonesia tidak tertinggal dalam melindungi generasi mudanya di era digital,” tutup Andina. ist