Penulis: Kurnia D Sianturi
Mahasiswa S3 STIK
Intoleransi, radikalisme dan terorisme menjadi bagian yang saling berkaitan dikarenakan intoleransi menjadi salah satu awal yang dapat membuat menumbuhkan radikalisme dan terorisme. Intoleransi, radikalisme, dan terorisme merupakan ancaman serius terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiganya tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi tumbuh perlahan dari akar yang sama: sikap tertutup terhadap perbedaan, minimnya interaksi sosial yang sehat, serta lemahnya kontrol dan pembinaan nilai sejak dini. Dalam konteks ini, keluarga memegang peranan yang sangat vital sebagai benteng pertama dan utama dalam mencegah serta menangani penyebaran paham yang menyimpang tersebut.
Intoleransi sering kali menjadi pintu masuk menuju radikalisme dan pada tahap yang lebih ekstrem, terorisme. Sikap tidak menerima keberagaman dan penolakan terhadap perbedaan keyakinan atau pendapat dapat berkembang menjadi paham radikal ketika dibiarkan tanpa pembinaan yang tepat. Ketika individu—khususnya generasi muda—kehilangan ruang aman untuk berdialog, mengekspresikan diri, dan belajar menerima perbedaan, maka radikalisme dapat tumbuh subur, terlebih di tengah akses yang luas terhadap informasi tidak valid melalui media sosial.
Dalam konteks inilah, keluarga memiliki posisi strategis. Sebagai lingkungan sosial pertama yang membentuk karakter, nilai, dan cara pandang individu, keluarga berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan cinta damai. Orang tua sebagai figur utama dalam keluarga dituntut untuk tidak hanya mengenalkan ajaran agama secara bijak dan inklusif, tetapi juga memberi contoh nyata dalam berperilaku sehari-hari. Nilai-nilai keagamaan yang disampaikan dalam keluarga harus bersifat moderat, terbuka, dan menghindari narasi permusuhan.
Peran keluarga tidak berhenti sampai pada pembinaan nilai. Deteksi dini terhadap potensi kerentanan anggota keluarga terhadap ideologi radikal juga menjadi bagian penting dalam pencegahan. Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan komunikasi antar anggota keluarga, pengawasan terhadap pergaulan dan aktivitas digital anak-anak dan remaja, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan yang positif. Keluarga yang memiliki ketahanan dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, serta menjalin relasi sosial yang sehat, cenderung lebih mampu mencegah penyusupan ideologi radikal ke dalam rumah tangga.
Selain itu, keluarga juga memainkan peran penting dalam proses deradikalisasi. Bagi individu yang sudah terpapar paham ekstrem, dukungan keluarga menjadi kunci untuk proses pemulihan dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Dukungan emosional, pemahaman ideologis yang lebih moderat, serta penerimaan tanpa stigma sangat diperlukan agar individu tersebut tidak kembali ke jalur kekerasan.
Sebagaimana disampaikan oleh berbagai studi (GCTF; Ghofur et al., 2015; Qotadah et al., 2021; Kamalia et al., 2019), ketahanan keluarga dapat diperkuat melalui pendekatan holistik yang mencakup pendidikan toleransi, penguatan fungsi agama yang inklusif, pengawasan terhadap interaksi sosial dan digital, serta keterlibatan dalam komunitas yang produktif. Semua ini menunjukkan bahwa keluarga bukan hanya tempat tinggal, melainkan pusat pembentukan peradaban damai.
Tambahan dari hasil kajian Umi Sumbulah (2019) menunjukkan bahwa pencegahan radikalisme pada keluarga yang belum terpapar harus dilakukan melalui penguatan ketahanan keluarga secara menyeluruh. Hal ini meliputi pemberdayaan dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan. Lebih dari itu, keluarga juga perlu dibekali dengan pemahaman komprehensif tentang ancaman ideologi radikal agar dapat melakukan deteksi dan pencegahan secara efektif. Dalam hal ini, pendidikan literasi ideologi menjadi sangat penting, termasuk pembekalan terhadap narasi-narasi keagamaan yang menyejukkan, toleran, dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Oleh karena itu, sinergi antara keluarga, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan negara mutlak diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang kondusif dalam membentengi masyarakat dari bahaya intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Negara perlu hadir melalui kebijakan yang mendukung ketahanan keluarga, penyuluhan keagamaan yang moderat, serta penguatan jaringan sosial berbasis komunitas. Sedangkan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat harus terus diperkuat kapasitasnya agar mampu menjalankan fungsi preventif, edukatif, dan protektif secara optimal.
Dengan demikian, penguatan peran keluarga dalam pencegahan dan penanganan intoleransi, radikalisme, dan terorisme merupakan langkah krusial dan tidak dapat ditunda. Keluarga bukan hanya tempat tinggal atau hubungan darah semata, melainkan fondasi utama dalam membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan damai. (*)