Ekobis  

Hipmi Dukung APNI Perjuangkan Kesejahteraan Penambang Nikel

Hipmi Dukung APNI Perjuangkan Kesejahteraan Penambang Nikel
Ketua BPD Himpi Kalteng Hartanto bersama Ketua BPP Hipmi Mardani H Maming serta sejumlah pengurus BPP Himpi seperti Axcel Narang, saat menghadiri Munas di Jakarta, belum lama ini. ISTIMEWA

PALANGKA RAYA/tabengan.co.id- Larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan 1 Januari 2020 lalu, membuat penambang nikel dalam negeri berada dalam kondisi mati suri. Kondisi ini terjadi akibat rendahnya harga jual bijih nikel domestik, yang jika penambang memaksakan untuk melakukan penambangan, harga yang ditawarkan relatif lebih murah dari harga produksi dan akan mematikan perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum BPD HIPMI Kalteng Hartanto mendukung agar pengusaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memperjuangkan agar harga pokok mineral (HPM) nikel di atas Free on Board (FoB) tongkang.
“Kita memberikan dukungan kepada APNI untuk memperjuangkan kesejahteraan penambang nikel,” kata Hartanto.
Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Mardani H Maming.
“Kami mendukung dan mengapresiasi APNI sehubungan dengan penentuan HPM nikel di atas FoB tongkang. Kami berharap ada kesepakatan dua belah pihak antara smelter dan penambang yang dibuatkan regulasinya oleh Menteri ESDM untuk menetapkan harga HPM. Apabila ada smelter yang dibeli harga dibawah HPM harus diberikan sanksi,” kata Maming kepada sejumlah media sebelumnya.
Maming mengatakan harga internasional saat ini, bijih nikel kadar 1.8 persen FoB Filipina dihargai antara USD 59-61/ wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1.8 persen FoB sebesar USD 38-40/wmt merupakan harga yang wajar.
“Jika kita bandingkan dengan harga internasional tentu tidak memberatkan kedua pihak baik smelter maupun penambang,” ujarnya.
Dia juga meminta Kementerian ESDM mewajibkan kepada penambang yang kadar 1.7 persen, yang dimana dilarang ekspornya bulan Januari 2020 lalu. “Karena ada larangan ekspor, maka Kementerian ESDM mewajibkan barang penambang diterima oleh smelter lokal yang kadarnya 1.7 persen,” ujar Maming.
Untuk saling menjaga kualitas barang, Mantan Bupati Tanah Bumbu itu pun menyarankan penambang dan smelter boleh menunjuk masing-masing surveyor yang terdaftar di Kementerian ESDM agar kualitas barang mempunyai kepastian sehingga tidak merasa dicurangi satu sama lainnya. sgh