PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Pada tahun politik diprediksi ekonomi Indonesia akan bergejolak atau malah kebal dari pengaruh eskalasi suhu politik. Untuk Kalimantan Tengah (Kalteng), pengaruh inflasi rentan dengan kondisi ekonomi, menjelang atau saat hingga usai pelaksanaan pesta demokrasi.
Dalam waktu dekat hingga menjelang hari H, bahkan setelahnya pesta demokrasi di Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah, akan terjadi inflasi yang cukup signifikan.
Terkait hal itu, Pengamat Ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (FE UPR) Fitria Husnatarina kepada Tabengan, Selasa (25/7), menegaskan, bahwa inflasi menjelang pemilu itu sudah terjadi sejak dulu. Bahkan menjadi fenomena yang biasa karena kemudian intinya konsumsi pada saat itu meningkat.
Dijelaskan Direktur Galeri Investasi BEI Kampus UPR tersebut, bahwa aktivitas konsumsi dalam masa kampanye seperti pemberian sebuah previlege menjelang pemilu kepada konstituen itu sangat dipahami sebagai kultur dari calon-calon terpilih atau pun dari partai-partai pengusung calon. Sehingga tingkat permintaan terhadap barang menjadi tinggi.
“Tingkat bentuk kampanye dengan menyediakan tingkat kepentingan bahan pokok, dengan beberapa bentuk promosi spanduk, banner, baliho itu kan sebuah bentuk aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Dipaparkannya, masa kampanye adalah sebagai peluang baik bagi pelaku usaha untuk menangkap masa-masa pemilu sebagai masa untuk aktivitas usaha. Tetapi ini menyebabkan inflasi karena lonjakan permintaan terhadap barang tertentu, produk advertising tertentu yang memang menurut beberapa calon dan partai sangat jitu dalam promosi atau menarik simpati massa.
“Hal ini akan meningkatkan permintaan yang tinggi dan kemudian menyebabkan ketersediaan menjadi sedikit dan menimbulkan kenaikan harga dan inflasi. Namun ini lumrah, menjadi pemantik peningkatan ekonomi,” ungkapnya.
Tetapi, sambung mantan Ketua Ikatan Akuntansi Indonesia Kalteng itu, yang menjadi pekerjaan rumah (PR) berikutnya adalah ketika kemudian permintaan barang ini menjadi tidak terkendali, inflasi menjadi sesuatu yang stagnan di posisi yang tinggi.
“Ini menyebabkan daya beli masyarakat yang normal itu menjadi terganggu. Jadi daya beli masyarakat menjadi berkurang, ditambah penghasilan masyarakat tidak naik juga, karenanya ini adalah bentuk ekstra ordinary,” ujarnya.
Jika seperti ini apa yang harus dilakukan? Fitria berpendapat bahwa pemerintah harus membentuk pokja-pokja unit pengendali, untuk menjaga apakah demanding dari bentuk pra pemilu sampai pada pelaksanaan. Bahkan untuk pasca pemilu ini benar-benar bisa dijaga dalam kebijakan-kebijakan yang memang jitu.
Dikatakannya, kalau pola-pola, misal memberikan sembako kepada masyarakat untuk bentuk kampanye atau memberikan baju kaos, atribut-atribut yang sifatnya promotif kepada masyarakat itu sangat besar, dilakukan serentak oleh semua calon, kemudian oleh partai-partai dalam bentuk pemberian yang massal, ini juga harus dijaga ketersediaannya.
“Jangan-jangan distribusi kepada mereka justru lebih besar dibandingkan mengamankan posisi barang tersebut di pasar, sehingga bukan hanya inflasi, tetapi juga kelangkaan. Kelangkaan yang menyebabkan kebutuhan pokok itu, yang tidak boleh sebenarnya langka menyebabkan chaos. Turbulensi pasar ini yang harus dijaga, unit-unit kerja tertentu, dinas-dinas tertentu harus melihat pola,” pungkas Fitria. dsn





