Palangka Raya, 29 September 2025
Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia,
Bapak Prabowo Subianto
Dengan hormat,
Saya di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, mendoakan agar Bapak senantiasa dalam keadaan sehat walafiat serta selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Perkenankan saya memperkenalkan diri sebelum menyampaikan apresiasi sekaligus kegelisahan saya terkait Program Makan Bergizi Gratis. Nama saya Sepmiwawalma, pernah menjadi Anggota KPU Provinsi Kalimantan Tengah periode 2013–2018, penyusun Kamus Bahasa Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, penulis biografi Bapak Nahson Taway (mantan Walikota Palangka Raya dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah), serta seorang konten kreator di Facebook Pro dengan akun Sesilia (Sepmiwawalma). Saya juga seorang ibu dari seorang putri bernama Sesilia, yang saat ini berusia 6 tahun dan bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Kehadiran Sesilia kami nantikan selama 12 tahun, dan ia lahir ketika saya telah berusia 39 tahun.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Program Makan Bergizi Gratis mendapat banyak apresiasi karena mengandung pesan kemanusiaan yang kuat: memberikan akses makanan layak bagi anak-anak yang kurang beruntung. Program ini membantu orang tua yang kesulitan menyediakan sarapan atau bekal sekolah bagi anak-anak mereka karena ketiadaan/keterbatasan keuangan. Dengan program ini, anak-anak mereka tidak lagi harus menahan lapar di sekolah. Mereka bahkan bisa merasakan makanan yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya di rumah. Namun demikian, di sisi lain program ini juga menimbulkan sejumlah kegelisahan.
Di beberapa sekolah yang sudah menjalankan program ini, terdapat siswa yang sebenarnya sudah terbiasa membawa bekal dari rumah, baik berupa makanan maupun uang jajan. Karena orang tua mereka mampu memfasilitasi, bekal yang dibawa pun sesuai dengan selera anak. Anak-anak ini cenderung tidak menyentuh makanan dari program jika menu yang disediakan tidak sesuai dengan selera mereka.
Untuk menghindari pemborosan serta menghargai program, beberapa sekolah membuat kebijakan agar peserta didik membawa kotak makan kosong dari rumah. Makanan yang tidak dimakan bisa dibawa pulang, dan di rumah bisa saja dimakan oleh anggota keluarga lain jika masih layak dimakan, diberikan ke ternak, atau dibuang. Sayangnya, praktik seperti ini menyulitkan proses evaluasi karena makanan tampak “habis” meskipun sebenarnya tidak dikonsumsi. Pernahkah dilakukan penghitungan berapa banyak makanan yang sesungguhnya terbuang dari program ini?.
Bagi siswa yang tidak membawa bekal atau uang jajan, mereka akan tetap memakan makanan yang disediakan meskipun mungkin tidak sesuai selera, atau bahkan tidak layak makan dan ini bisa menimbulkan risiko keracunan.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis sangat kompleks. Dimulai dari perencanaan menu, proses memasak, pengemasan, pendistribusian, hingga proses makan oleh anak-anak. Semua ini memakan waktu yang panjang. Contohnya, jika makanan untuk siswa SMP dan SMA mulai disiapkan sejak pukul 12 malam, dan baru dikonsumsi pukul 12 siang, maka wajar jika makanan menjadi basi atau berbau bila tidak dikelola dengan benar karena jarak persiapan sampai saat mengkonsumsi hampir 12 jam. Demikian pula dengan peserta didik TK dan SD yang menerima makanan pukul 9 pagi, maka pendistribusian harus selesai paling lambat pukul 7 pagi. Panjangnya waktu persiapan hingga penyajian menyebabkan kualitas makanan jadi menurun dan bisa menimbulkan keracunan. Kesalahan tata kelola bisa sangat berbahaya karena menyangkut kesehatan dan keselamatan generasi bangsa. Anak yang keracunan bisa trauma, demikian pula orang tuanya. Anak-anak lain yang menyaksikan atau mendengar berita tersebut bisa menjadi takut dan akhirnya enggan menyentuh makanan dari program, karena mengkhawatirkan keselamatan mereka sendiri.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Saya pribadi sebagai ibu yang menanti kelahiran anak selama 12 tahun sangat sedih dan prihatin melihat berita tentang anak-anak yang setelah makan dari program ini harus digotong ke ambulans dan dilarikan ke rumah sakit. Sekolah anak saya sendiri belum menerima program ini, dan sebagai bentuk antisipasi, saya tidak menginginkan anak saya memakan makanan dari program. Biarlah ia tetap membawa bekal dari rumah, karena hingga saat ini belum ada kebijakan yang melarang hal itu.
Pertanyaan saya, mengapa seluruh peserta didik di sekolah dihitung sebagai penerima program ini, padahal tidak semua anak membutuhkan atau menginginkannya?. Bukankah alokasi anggaran bisa lebih efisien jika hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang benar-benar membutuhkan atau bersedia menerima?.
Orang tua yang mampu dan bersedia membawakan bekal bagi anak-anak mereka tentu memahami selera dan kebutuhan anak mereka dengan lebih baik. Ini adalah bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak, sekaligus meringankan beban negara.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Alangkah baiknya jika menu yang disiapkan oleh penyedia katering disesuaikan dengan selera mayoritas anak didik di sekolah tersebut. Angket dapat disebarkan untuk mengetahui jenis makanan yang paling disukai. Selama masih dalam standar gizi yang ditetapkan dan sesuai dengan anggaran yang tersedia, bukankah pendekatan ini lebih tepat sasaran?. Anak-anak akan lebih antusias menyantap makanannya, dan makanan tidak akan terbuang percuma. Makanan hanya diberikan kepada yang bersedia menerima.
Kami berharap kesehatan dan nyawa anak-anak tidak hanya dipandang sebagai statistik semata. Satu korban keracunan saja sudah menjadi alarm penting bahwa program ini perlu dievaluasi secara menyeluruh. Di balik satu korban, ada air mata, kekhawatiran, kekecewaan, dan trauma yang dirasakan tidak hanya oleh korban dan keluarganya, tetapi juga oleh teman-teman mereka dan masyarakat luas.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Sebagai penutup surat terbuka ini, dari Palangka Raya, Kalimantan Tengah saya memohon agar Program Makan Bergizi Gratis dievaluasi secara menyeluruh. Jika hasil evaluasi menyatakan program ini masih layak diteruskan, kami berharap yang terdengar selanjutnya bukan berita tentang keracunan, melainkan ucapan terima kasih dari berbagai pihak atas sajian yang enak, sehat, higienis, bergizi serta aman.
Mudah-mudahan setiap penyedia katering program ini memiliki tekad dan komitmen, baik di hadapan manusia maupun Tuhan, dan berkata: “Saya ingin anak-anak yang makan dari dapur saya merasakan makanan yang enak, mereka ketagihan, ingin lagi, sehat, bergizi, dan aman.”
Demikian surat terbuka ini saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian Bapak Presiden.
Hormat saya,
Sepmiwawalma
Catatan Redaksi:
Isi tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis