OPINI  

KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PEJABAT DALAM PENGAKUAN HUKUM PEMBUKTIAN

KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PEJABAT DALAM PENGAKUAN HUKUM PEMBUKTIAN

Oleh: Tukima

 Meningkatnya proses transformasi menuju digital industri berbasis cyber physical system atau yang dikenal dengan revolusi industri 4.0 ala Schwab, telah merubah berbagai bentuk kegiatan fisik (konvensional) menuju industri berbasis digital, tak ketinggalan bahkan hambatan yang dihadapi korporasi terkait efisiensi waktu dan biaya mengakibatkan terwujudnya sebuah konsep penandatangan dokumen berbasis digital (tanda tangan elektronik). Begitu kencangnya arus perubahan transformasi teknologi ini, menimbulkan pertanyaan besar terkait apakah pemerintah sebagai decision maker, lembaga peradilan serta para penegak hukum sudah siap atau malah tertinggal jauh dibelakang revolusi industri digital yang sudah tak lagi dapat dielakkan.

Menurut sistem het Herziene Indlandsch Reglement (HIR), dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (ps. 164 HIR. 284 Rbg. 1866 BW) adalah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Tanpa harus menyimpang dari ketentuan hukum pembuktian yang ada, pintu masuk bagi hakim untuk menerima berbagai macam sistem pembuktian tanpa warkat, tetapi hanya dengan memakai pembuktian elektronik, dalam bidang hukum perdata, terobosan hukum dapat dilakukan melalui pemakaian alat bukti “serbaguna”, yaitu alat bukti persangkaan (vide Pasal 164 HIR). Dalam hal ini, meskipun dengan berbagai kelemahannya, dengan adanya bukti elektronik dianggap menimbulkan persangkaan bagi hakim terhadap adanya transaksi yang bersangkutan. Penggunaan alat bukti elektronik melalui alat bukti persangkaan ini masih sesuai dengan system HIR, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 173 HIR bahwa “Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya, manakala persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu, dan cocok satu sama lainnya”.

Hadirnya alas hukum untuk tanda tangan berbasis digital ini melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi jawaban bahwa sudah sejak 10 tahun yang lalu memang keabsahan penandatanganan suatu kontrak secara elektronik telah diakui. Disusul lahirnya PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang bahkan mengatur khusus pada BAB V tentang Tandatangan Elektronik

Namun penggunaan tanda tangan elektronik tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena menghadapi berbagai kendala dan rintangan. Selain tidak mudahnya merubah mindset para pejabat yang terbiasa menggunakan tanda tangan manual, juga adanya ketakutan akan legalitas tanda tangan elektronik maupun keamanan tanda tangan elektronik dari pemalsuan. Maka tulisan ini akan membahas mengenai kekuatan hukum keabsahan tanda tangan elektronik, keamanan tanda tangan elektronik dari pemalsuan.

Didalam pasal 1869 jo pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No.29 dibahas berlakunya tanda tangan elektronik maka pada dokumen tersebut memiliki kekuatan hukum, berikut ini isi pasalnya:

  1. Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.”
  2. Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa  akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut dihadapan pejabat yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 Ordonansi 1867 No.29 menyebutkan bahwa “Ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan  di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan meraka”. Penandatangan sebuah dokumen menunjukkan bahwa persetujuan penandatanganan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangani sekaligus menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut. Walaupun hal ini beresiko tinggi tapi sistem ini memberi banyak keuntungan dan masing-masing tanda tangan penerima pinjaman memiliki ciri autentik serta tidak akan tertukar atau dipalsukan.

Keabsahan tanda tangan elektronik menurut pasal 1875 KUH Perdata, suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka. Tanda tangan sedikitnya memiliki dua fungsi dalam sebuah dokumen:

  • Yang pertama adalah untuk memastikan bahwa dokumen tersebut memang dibuat oleh dan berhubungan dengan identitas yang menandatanganinya sebagai fungsi identitas para pihak.
  • Yang kedua adalah untuk memberikan kepastian bahwa dokumen tersebut telah dibaca dan dimengerti oleh yang menandatangani. sehingga jelas bahwa si penandatangan telah setuju dengan isinya sebagai penerimaan/kebenaran isi dari dokumen tersebut.

Jadi dengan adanya tandatangan, maka sebuah dokumen menjadi diakui kebenarannya oleh para pihak yang bertandatangan sesuai dengan identitas yang ada tersebut.

Bila ada pihak yang tidak bisa menulis, maka bisa memakai cap jempol (ibu jari) yang dipersamakan sebagai tandatangan dengan syarat tertentu. Cap jempol juga dapat menguatkan karena sidik jari setiap orang akan berbeda. Pasal 1874 ay (2) KUH Perdata bahwa dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa akta telah dijelaskan kepada orang itu, cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Cap jempol yang dibubuhkan pada suatu surat harus diketahui dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.

UU No. 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai, pada bagian Ketentuan Umum menyatakan: “Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik”. Namun dalam perkembangannya, dikenal pula tandatangan elektronik dan meterai elektronik.

Di atas kertas, tandatangan ini akan dilakukan di atas meterai tempel, UU 13/1985 tentang Bea Meterai yang lama, sesuai dengan ketentuan penutup pada UU No. 10/2020 dianggap tetap berlaku selama tidak bertentangan, sehingga ketentuan tentang pembubuhan tandatangan di atas meterai tempel tetap berlaku pada Pasal 7 ayat (5) UU 13/1985. Pasal 7 ayat (5) UU 13/1985 bahwa “Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian sisanya di atas meterai”.

Selanjutnya mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum, tanda tangan elektronik disamakan dengan tanda tangan manual sebagaimana dijamin dalam penjelasan Pasal 11 UU ITE. Maka Pasal 1869 jo Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29 juga berlaku pada tanda tangan elektronik sehingga dengan diberi tanda tangan elektronik maka dokumen elektronik tersebut memilki kekuatan hukum. Dengan menandatangani, menunjukkan persetujuan penandatanggan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangganinya sekaligus menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut.

Untuk dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka tanda tangan elektronik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yaitu:

  1. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;
  2. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa penandatangan
  3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
  4. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terakit dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
  5. Terdapat cara tertentu yang dapat diapakai untuk mengindetifikasi siapa penandatangganannya; dan
  6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangganan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkai.

Tanda tangan elektronik menerapkan teori kriptografi asimetrik. Kriptografi asimetrik merupakan jenis kriptografi yang menggunakan kunci yang berbeda untuk mengenkripsi dan mendekripsi pesan. Kriptografi asimetrik ini dimungkinkan setelah dikenalkannya konsep penggunaan kunci publik dan kunci privat pada kriptografi. Dengan adanya sepasang kunci publik dan kunci privat ini, pengirim dapat membubuhi data yang dikirimkannya dengan tanda tangan yang telah dienkripsi. Tanda tangan elekronik yang telah dienkripsi ini lebih memberikan rasa aman dan kepercayaan bagi pihak penerima.

Tanda tangan elektronik merupakan jenis kriptografi yang menggunakan kunci yang berbeda untuk mengenkripsi dan mendekripsi pesan. Kriptografi asimetrik ini dimungkinkan setelah dikenalkannya konsep penggunaan kunci publik dan kunci privat pada kriptografi. Dengan adanya sepasang kunci publik dan kunci privat ini, pengirim dapat membubuhi data yang dikirimkannya dengan tanda tangan yang telah dienkripsi. Tanda tangan elekronik yang telah dienkripsi ini lebih memberikan rasa aman dan kepercayaan bagi pihak penerima.

Mekanisme tahapan tanda tangan elektronik dan bagian-bagian algoritmanya dapat digambarkan dan dijelaskan dalam skema dan alur system sebagai berikut:

KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PEJABAT DALAM PENGAKUAN HUKUM PEMBUKTIAN

 

Penjelasan sebegai berikut:

  • Public Key Generator adalah algoritma untuk menggenerate sepasang kunci publik dan kunci privat. Kunci publik merupakan kunci yang digunakan untuk mengekripsi pesan atau dalam hal ini tanda tangan yang dibubuhkan, sedangkan kunci privat digunakan untuk mendekripsi ulang tanda tangan yang telah dienkripsi.
  • Hash Function adalah algoritma untuk membuat tanda tangan digital atau Signing Algorithm. Fungsi hash akan menghasilkan nilai tertentu yang unik berdasarkan data yang digunakan sebagai masukan fungsi hash.
  • Verification Function adalah algoritma untuk memverifikasi tanda tangan yang dibubuhkan. Bagian ini sebenarnya sama dengan bagian untuk mengekripsi tanda tangan. Karena dengan menggunakan pasangan kunci publik dan privat, seharusnya proses enkripsi dan dekripsi bisa dilakukan dengan algoritma yang sama dengan tambahan fungsi hash yang sama pula.

Namun demikian bahwa keamanan sistem informasi perlu dilakukan yang bertujuan untuk memastikan dan meyakinkan integritas, ketersediaan dan kerahasiaan dari pengolahan informasi. Pengelolaan keamanan sistem informasi harus dimulai ketika sebuah sistem informasi dibangun, bukan hanya sebagai pelengkap sebuah sistem informasi. Dengan adanya pengelolaan keamanan sistem informasi yang baik, maka diharapkan organisasi pemerintahan dapat memprediksi risiko-risiko yang muncul akibat penggunaan sistem informasi sehingga dapat menghindari atau mengurangi risiko yang mungkin dapat merugikan bagi pegawai dan organisasi.

Pasal 1 butir 12 UU ITE memberikan pengertian tanda tangan elektronik adalah “informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik”. Pasal 7 UU ITE menyebutkan bahwa “setiap orang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak lain berdasarkan adanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik harus memastikan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pengakuan lainnya terhadap dokumen elektronik semakin tegas dimuat pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam ketentuan Pasal 17 PERMA tersebut diatur bahwa “Pengadilan menerbitkan salinan putusan/penetapan secara elektronik. Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim kepada para pihak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan/penetapan kecuali kepailitan/PKPU”, pengiriman dilakukan melalui domisili elektronik. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 diatur bahwa “salinan putusan /penetapan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah”. Hal ini berarti, Peradilan Umum khususnya tetap wajib mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap tanda tangan elektronik disamakan dengan tanda tangan manual sebagaimana dijamin dalam penjelasan Pasal 11 UU ITE, sesuai dengan Pasal 1869 jo Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29 bahwa berlaku pada dokumen elektronik yang telah diberi tanda tangan elektronik maka dokumen elektronik tersebut memilki kekuatan hukum. Dengan menandatangani, menunjukkan persetujuan penandatanggan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangganinya sekaligus menjamin kebenaran isi dan kemanan informasi yang tercantum dalam dokumen tersebut.

PENULIS: Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Tengah

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh penulis