Ekobis  

Pemotongan DBH dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Kalteng

Pemotongan DBH dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Kalteng
Pengamat Ekonomi Kalteng sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Fitria Husnatarina SE, MSi, Ak, CA, CSRS, CRSA, ACPA, SCL

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID Rencana pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat memicu kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap perekonomian di daerah, termasuk Kalimantan Tengah (Kalteng).

Pengamat ekonomi Kalteng sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Fitria Husnatarina SE, MSi, Ak, CA, CSRS, CRSA, ACPA, SCL memberikan analisis mendalam terkait berbagai potensi konsekuensi yang mungkin terjadi.

Fitria menjelaskan, pemotongan DBH akan berdampak pada daerah, namun dampaknya tidak serta-merta dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Dampak dari pemotongan DBH tidak langsung berimbas pada penurunan pendapatan masyarakat atau daya beli,” ujarnya kepada Tabengan, Kamis (21/8).
Ia mengemukakan, DBH harus melalui serangkaian proses dan program pemerintah daerah sebelum sampai ke masyarakat.

“DBH ini digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi. Dampaknya baru terasa jika program-program tersebut tidak berjalan optimal atau mengalami penundaan,” jelas Fitria.
Mengenai potensi peningkatan pengangguran, Fitria berpendapat bahwa hal ini sangat tergantung pada prioritas program pemerintah daerah. Jika pemerintah berfokus pada pembangunan industri atau proyek padat karya, pemotongan DBH dapat menghambat serapan tenaga kerja dan berpotensi meningkatkan angka pengangguran.

“Realisasi DBH yang tidak tepat sasaran atau tidak terfasilitasi dalam program strategis dapat berdampak pada peningkatan pengangguran,” katanya.
Terkait isu inflasi, Fitria menegaskan bahwa DBH bukanlah satu-satunya faktor yang memicu inflasi. “Inflasi muncul dari berbagai faktor dan tidak serta-merta disebabkan oleh pemotongan DBH. Ini merupakan efek berantai dari berbagai kebijakan dan kondisi pasar,” imbuhnya.
Ia menambahkan, biaya hidup bisa naik atau menjadi tidak stabil jika berbagai instrumen ekonomi lain, seperti kepercayaan masyarakat yang menurun atau perusahaan yang lesu, ikut terpengaruh.

“DBH hanyalah salah satu instrumen dari banyak hal yang memengaruhi kondisi makro ekonomi,” tegas Fitria.

Menurut Fitria, solusi utama untuk menghadapi situasi ini adalah dengan tidak terlalu bergantung pada DBH. Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi sektor utama yang ditingkatkan.

“Pemerintah daerah harus berorientasi pada business mind. Pemerintah perlu mengefisienkan dan mengefektifkan berbagai program dan birokrasi agar tidak menjadi beban daerah, sehingga dapat lebih optimal dalam pembangunan,” lanjut Fitria.

Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan lain dan mengelola anggaran secara lebih bijak agar program pembangunan tetap berjalan tanpa terlalu terbebani oleh pemotongan DBH.

Secara keseluruhan, pemotongan DBH memang akan berdampak, namun dampaknya bersifat bertahap dan tidak langsung terasa oleh masyarakat. Dampak terburuknya, seperti pengangguran dan naiknya biaya hidup, dapat terjadi jika pemerintah daerah tidak memiliki program strategis yang kuat dan terlalu bergantung pada DBH. Solusi yang ditawarkan adalah dengan meningkatkan PAD dan mengelola keuangan daerah secara lebih efektif dan efisien. Rmp