OPINI  

Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pada Periode Tahun 2014-2021

Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pada Periode Tahun 2014-2021

Oleh: Waluyo Dwi Saparyo

(Kepala Seksi PSAPP, Bidang PAPK, Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Tengah)

Ir. H. Joko Widodo adalah Presiden ke-7 Republik Indonesia yang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014. Lebih akrab dipanggil Jokowi. Beliau membentuk Kabinet Kerja pada Periode I dari tahun 2014 – 2019. Fokus pembangunan pada periode pertama adalah pembangunan maritim, pangan, energi, dan peningkatan bidang infrastruktur yang di mulai pembangunan pelabuhan dan penyediaan listrik sebesar 25 ribu mega watt.

Di masa jabatan yang kedua (2019-2024),  Jokowi meluncurkan Kabinet Indonesia Maju. Kabinet mengalihkan fokus pemerintahan pada pembangunan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia. Program pembangunan infrastruktur masih tetap dilanjutkan pada periode kedua ini.

Kinerja Pemerintah dalam pelaksanaan APBN tercermin dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat yang diwakili oleh DPR. LKPP menggambarkan kondisi keuangan sekaligus kinerja keuangan Pemerintah dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika yang terjadi.

Tulisan ini akan mengupas laju perkembangan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara pada Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dari tahun 2014-2021 sebagai salah satu komponen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Defisit anggaran merupakan salah satu kebijakan fiskal yang menjadi perhatian dalam menjaga kesinambungan fiskal secara nasional. Defisit anggaran merupakan selisih antara realisasi anggaran pendapatan dengan realisasi anggaran belanja yang nilainya negatif. Pendapatan negara terdiri dari penerimaan pajak ditambah penerimaan negara bukan pajak dan hibah sedangkan belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat ditambah transfer ke daerah dan dana desa.  Pada akhir tulisan disampaikan beberapa saran untuk yang perlu diambil pemerintah guna menekan laju angka defisit pada tahun-tahun mendatang.

Kinerja pemerintah merupakan suatu hal yang menjadi fokus perhatian dalam pengelolaan keuangan negara (Mardiasmo,2007). Artinya kinerja keuangan dapat menunjukan bagaimana kondisi keuangan serta kemampuan pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan dana untuk pembangunan negara. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran kinerja pemerintah untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dicapai oleh pemerintah dalam menjalankan tugasnya (progress report).

Menurut Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dalam pasal 4 di sebutkan Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Dalam pasal 30 ayat (1) dan (2) disebutkan Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir (LKPP Audited).

Sebagai sarana evaluasi kinerja, laporan keuangan pemerintah berguna untuk mengevaluasi penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola pemerintah untuk mencapai kinerja yang direncanakan diantaranya berupa: (1) menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya dan dengan kinerja unit yang lain; (2) mengevaluasi tingkat ekonomi, efisiensi, dan efektivitas operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di dalam pemerintahan; (3) mengevaluasi hasil (outcome) suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan target; (4) mengevalauasi tingkat pemerataan dan keadilan (Erniati, Kanwil DJPb Sulteng).

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam suatu periode tertentu.

Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA)  pada LKPP tahun 2014-2021 audited,  angka defisit anggaran yaitu jumlah pendapatan negara (penerimaan sektor perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak/PNBP dan Hibah) dikurangi belanja negara (belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah) terlihat pada grafik berikut ini :

Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pada Periode Tahun 2014-2021

Berdasarkan grafik diatas diketahui angka defisit dari tahun 2014-2021 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada tahun pertama pemerintahan  Ir. H. Joko Widodo yaitu tahun 2014 jumlah penerimaan negara sebesar Rp1.550,49 triliun dan jumlah belanja sebesar Rp1.777,18 triliun, defisit APBN pada angka sebesar Rp226,69 triliun. yang berarti 93,87 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN-P sebesar Rp241,49 triliun.

Pada akhir masa jabatan periode pertama yaitu tahun 2018 pendapatan pemerintah sebesar Rp1.943,67 triliun dan belanja negara sebesar Rp2.213,12 triliun sehingga defisit pada angka sebesar Rp269,44 triliun. Angka defisit tahun 2018 ini jauh lebih baik dari defisit tahun 2017 yaitu sebesar Rp340,97 triliun.

Pendapatan Pemerintah tahun 2017 sebesar Rp1.666,37 triliun atau 95,99% dari target pendapatan sebesar Rp1.736,06 triliun. Belanja negara sebesar Rp2.007,35 triliun atau 94,10% dari target sebesar Rp2.133,29 triliun, sehingga tahun 2017 mengalami defisit sebesar Rp340,97 triliun atau 85,84 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN-P TA 2017 sebesar Rp397,23 triliun.

Defisit anggaran tahun 2018 adalah sebesar Rp269,44 triliun atau 1,81 persen terhadap realisasi PDB tahun 2018 yang mencapai Rp14.837,4 triliun. Realisasi tersebut berada di bawah target defisit yang telah ditetapkan dalam APBN 2018 sebesar Rp325,93 triliun dengan besaran persentase defisit terhadap PDB sebesar 2,19 persen. Persentase defisit tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 2,51 persen terhadap PDB.

Pada tahun pertama periode kedua yaitu tahun 2019 penerimaan negara sebesar Rp1.960,63 triliun dan belanja negara sebesar Rp2.309,28 triliun sehingga angka defisit sebesar Rp348,65 triliun. Defisit dalam APBN 2019 merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah untuk mendukung program prioritas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional sebagai stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Defisit pada tahun 2019 lebih tinggi dibandingkan target awal sebesar 1,84 persen terhadap PDB. Hal tersebut dilakukan pemerintah dalam menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk mempertahankan stimulus fiskal melalui belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa agar tetap tinggi dan efektif di tengah kondisi ketidakpastian global.

Defisit anggaran tahun 2020 dan 2021  mengalami lonjakan yang tinggi dibandingkan tahun 2019 disebabkan oleh kondisi ekonomi nasional yang mengalami tekanan akibat pelemahan industri manufaktur, penurunan aktivitas perdagangan internasional dan pembatasan aktivitas masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19. Penurunan aktivitas atau pergerakan masyarakat karena pembatasan sosial mengakibatkan penerimaan negara dan tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2020 mengalami penurunan di bandingkan tahun 2019.

Penerimaan negara tahun 2020 yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan PNBP serta hibah sebesar Rp1.647,78 triliun atau turun sebesar Rp312,85 triliun dari pendapatan tahun 2019. Realisasi pendapatan tahun 2020 ini sebesar 96,93% dari target Rp1.699,94 triliun. Belanja negara di tahun 2020 naik secara signifikan sebesar Rp2.595,48 triliun atau 94,75% dari target belanja sebesar Rp2.739,16 triliun, sehingga defisit pada angka sebesar Rp947,69 triliun.

Defisit anggaran tahun 2020 sebesar Rp947,69 triliun mencapai 6,14 persen terhadap PDB tahun 2020. Defisit ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sejalan dengan lebih rendahnya kinerja pendapatan negara akibat perlambatan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 disertai kinerja belanja negara yang tetap tumbuh positif dalam rangka mendukung kebijakan countercyclical Pemerintah dalam penanganan dampak Covid-19.

Berdasarkan Perppu 1 Tahun 2020 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020,  kebijakan extraordinary berupa relaksasi defisit APBN di atas 3 persen dari PDB merupakan konsekuensi kebijakan untuk mengatasi efek domino pada perekonomian yang ditimbulkan akibat dampak pandemi Covid-19.

Penerimaan negara tahun 2021 sebesar Rp2.011,44 triliun naik sebesar Rp363,56 triliun dari tahun 2020 sedangkan belanja negara sebesar Rp2.786,41 triliun naik sebesar Rp190,93 triliun sehingga defisit pada angka Rp775,06 triliun. Realisasi defisit anggaran Tahun 2021 masih terkendali yaitu 4,57 persen terhadap PDB Tahun 2021 di bawah target APBN sebesar 5,70 persen. Kenaikan pendapatan negara tahun 2021 disebabkan keberhasilan pemberian vaksin Covid-19 sehingga terjadi peningkatan mobilitas penduduk yang pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi pemerintah dan kenaikan harga komoditas dunia ditengah-tengan perkembangan ekonomi global yang kurang baik dampak dari perang Rusia Ukraina dan resesi di banyak negara.

Sejalan dengan relaksasi defisit APBN di atas 3 persen sampai dengan akhir tahun anggaran 2022 serta komitmen Pemerintah dalam melanjutkan kebijakan percepatan penanganan dampak pandemi Covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, kebutuhan pembiayaan APBN Tahun 2021 masih cukup tinggi.

Untuk menghadapi guncangan maupun situasi genting akibat Covid-19, pemerintah bergerak cepat dengan merumuskan dan menjalankan extraordinary policy untuk menangani dampak pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian nasional. Extraordinary policy dimanifestasikan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Optimalisasi pendapatan negara sebagai bagian dari kebijakan pendapatan negara terus dilakukan untuk mencapai tujuan nasional, termasuk meningkatkan produktivitas dan mendorong transformasi ekonomi nasional dilakukan dari sisi penerimaan perpajakan maupun PNBP. Pada sisi perpajakan, telah dilakukan berbagai upaya perluasan basis pajak yang disertai perbaikan tata kelola dan perbaikan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio. Pemberian intensif fiskal kepada para pelaku usaha diharapkan dapat meningkatkan iklim usaha yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada sisi PNBP, Pemerintah terus melakukan perbaikan dalam tata kelola PNBP, peningkatan kinerja BLU melalui layanan yang optimal, optimalisasi penerimaan deviden melalui peningkatan skala usaha serta pertumbuhan BUMN dan lain-lain.

Belanja negara hingga tahun 2021 dilaksanakan secara responsif dan fleksibel sebagai instrument penting dalam mendorong kinerja perekonomian terutama dalam pengendalian pandemi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Fleksibilitas dan APBN yang responsif tercermin dari berbagai bauran kebijakan efisiensi, realokasi dan refocusing anggaran, diterapkan mengacu pada peran penting APBN sebagai fungsi distribusi dan stabilisasi dengan berfokus pada prioritas survival dan recovery dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.

Berdasarkan Perppu 1 Tahun 2020 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, sebagai dasar perubahan postur APBN Tahun Anggaran 2020, yang diperlukan sebagai respon atas kondisi extraordinary pada tahun 2020. Prioritas pemerintah diarahkan pada tiga aspek utama yaitu penanganan kesehatan, penyelamatan ekonomi, dan stabilisasi sektor keuangan. Program penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) berfokus pada enam klaster yaitu klaster kesehatan, klaster perlindungan sosial, klaster dukungan usaha mikro kecil dan menengah, klaster pembiayaan korporasi, klaster sektoral kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah serta sektor insentif usaha. Tujuan program ini adalah melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selama pandemi Covid-19.

Pada tahun 2020, Pemerintah mengalokasikan dana PC-PEN sebesar Rp695,2 triliun dan telah terealisasi sebesar Rp575,85 triliun atau 82,83 persen dari pagu, dan terus dilanjutkan pada tahun 2021 dengan peningkatan alokasi hingga mencapai Rp699,43 yang kemudian dilakukan penyesuaian menjadi Rp744,77 triliun demi percepatan penanganan pandemi Covid-19, khususnya melalui penyediaan vaksinasi dan penanganan theurapetic, mempertahankan dan meningkatkan daya beli masyarakat serta mendorong kinerja dunia usaha di tengah peningkatan kasus Covid-19.

Merujuk pada Laporan Monitoring dan Evaluasi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 2021, realisasi program PEN sepanjang tahun 2021 telah mencapai Rp655,14 triliun atau 87,96 persen dari alokasi pagu sebesar Rp744,77 triliun. APBN telah berperan sangat penting dan menjadi daya dorong yang efektif untuk keberlanjutan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 menguat ke titik 3,69 persen (y-on-y) dimana tahun sebelumnya terkontraksi hingga sebesar -2,07 persen.

Melihat perkembangan angka defisit realisasi anggaran yang semakin meningkat setiap tahun, diperlukan langkah-langkah strategis agar belanja negara bisa dilaksanakan secara efisien seperti penajaman  biaya operasional perkantoran, penggunaan dan optimalisasi teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas layanan publik, dan pendekatan belanja yang lebih baik  (spending better) yang fokus pada pelaksanaan program prioritas berbasis pada hasil (result based)  dan efisiensi kebutuhan dasar serta  antisipasi terhadap berbagai tekanan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Perlu digali kembali sumber-sumber pendapatan dalam negeri dan PNBP agar ketergantungan terhadap sumber pembiayaan luar negeri semakin berkurang di tahun-tahun mendatang. Program peningkatan kapasitas usaha dan permodalan UMKM menjadi sangat penting untuk dilanjutkan agar UMKM terus tumbuh dan berkembang yang pada gilirannya akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan peningkatan pendapatan dari sektor  perpajakan.

Kesempatan Indonesia menjadi Presidensi G20 harus di manfaatkan sebaik-baiknya untuk memberikan nilai lebih pada program pemulihan ekonomi nasional dan peningkatan angka kunjungan wisatawan asing melalui inovasi pengembangan dunia pariwisata dan ekonomi kreatif. Diperlukan peran serta dan partisipasi aktif dari kalangan dunia usaha agar Presidensi G20 dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pemulihan ekonomi dari dampak  pandemi Covid-19.

Momentum perbaikan ekonomi yang sedang berjalan perlu dijaga dan dilanjutkan dengan tetap fokus pada upaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi ditengah-tengah situasi perkembangan ekonomi global yang tidak baik diakibatkan perang Rusia Ukraina. Pemerintah telah melakukan mitigasi resiko dan menyiapkan langkah-langkah strategis yang baik terhadap perkembangan ekonomi dunia akibat perlambatan ekonomi dan resesi diberbagai negara dan dengan tetap menjaga kredibilitas pengelolaan APBN dan kepercayaan masyarakat.

Piter Abdullah Redjalam dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia (Kompas.com) mengatakan ada 3 cara agar defisit fiskal tidak semakin melebar akibat tekanan pandemi Covid-19 yaitu Pertama mendahulukan penerbitan surat utang atau SUN domestik berdenomasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia, Kedua pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah suplai dollar AS dengan menerbitkan SUN Global, Ketiga Pemerintah menerbitkan SUN global ketika tekanan  wabah Covid-19 mulai mereda.

Disclamer: tulisan ini adalah pendapat pribadi tidak mencerminkan kebijakan Kanwil DJPb Provinsi Kalimantan Tengah.