+Walhi: Tata Kelola Sumber Daya Alam Sangatlah Buruk
PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Konflik agraria yang semakin masif terjadi di Kalimatan Tengah (Kalteng) tak lepas dari masih buruknya kebijakan tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) yang dilakukan pemerintah.
Dampak buruk konflik agraria bukan dirasakan perusahaan, aparat, apalagi pemerintah. Selama ini masyarakatlah yang paling merasakan dampak negatif konflik agraria. Mulai dari kehilangan lahan untuk hidup, mendapat tindakan represif saat berdemonstrasi, penjara bahkan nyawa jadi taruhan masyarakat saat aksi menuntut hak plasma 20 persen.
Ada juga yang menjarah sawit milik perusahaan karena tuntutan mereka tak digubris. Terbaru, masyarakat kembali menahan rasa sakit hati, karena aparat penembak warga Bangkal, Kabupaten Seruyan dihukum ringan hanya 10 bulan penjara. Tragedi penembakan yang menewaskan Gijik dan membuat Taufik cacat permanen juga buntut dari konflik agraria.
Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai menyebut, model pembangunan yang masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dan privatisasi wilayah dengan memberikan izin-izin penguasaan dan pengelolaannya secara berlebihan kepada korporasi swasta juga menjadi pemicu.
Berdasarkan hasil analisis Walhi Kalteng, menunjukkan sudah hampir 80 persen wilayah Kalteng telah dikuasai konsesi. “Sempitnya ruang wilayah kelola rakyat menjadi potensi utama konflik agraria yang setiap tahunnya semakin meningkat,” kata Janang kepada Tabengan, Rabu (12/6).
Apalagi dalam aktivitasnya, Perusahaan Besar Swasta (PBS) di Kalteng hampir selalu diiringi dengan itimidasi, perampasan lahan dan kriminalisasi. Hak masyarakat yang seharusnya diberikan oleh perusahaan juga sering diabaikan misalnya realisasi 20 persen plasma.
Selain itu, bentuk pengawasan pemerintah juga masih tampak lemah dan terkesan mengabaikan serta tutup mata dengan apa yang terjadi. “Apalagi kebijakan mitigasi konflik agraria juga belum ada gambaran yang jelas hingga saat ini,” lanjutnya.
Berdasarkan hasil rekapitulasi data dan analisis Walhi Kalteng soal penguasaan ruang di Kalteng periode 2022-2023, terdapat kenaikan perluasan perizinan korporasi SDA. Satu contohnya, penguasaan lahan untuk perkebunan di Kalteng pada periode 2022-2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, 245.556 hektare.
Penguasaan lahan untuk kehutanan di Kalteng pada periode 2022-2023 juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan, seluas lebih kurang 62.237,33 hektare. Sedangkan penguasan ruang oleh korporasi sektor pertambangan mineral dan batu bara diperoleh total jumlah unit perizinan pertambangan di Kalteng pada 2022 dan 2023, seluas 1.233.096 hektare.
Sepanjang 2022 hingga awal 2024 banyak terjadi konflik sosial di Kalteng. Menurut Janang, hal itu hanya akan memperbesar kerugian yang dialami masyarakat, karena wilayah atau lahan yang menjadi lokasi konflik atau sengketa adalah sumber penghidupan dan ekonomi mereka.
“Ini semakin menunjukkan tata kelola sumber daya alam di Kalteng sangatlah buruk karena selain berdampak pada kerusakan lingkungan juga tidak berdampak baik pada kesejahteraan masyarakat,” terangnya.
Berdasarkan data yang dihimpun, tak kurang dari 349 konflik agraria yang terjadi di Kalteng sejak 2015 hingga 2023. Jumlah ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Awal 2024 hingga Juni, setidaknya terdapat 5 kasus konflik agraria di Kalteng.
Dari jumlah kasus yang ada, paling dominan terjadi antara masyarakat dengan perkebunan sawit. Secara tipologi konflik yang terjadi lebih dominan pada konflik pengelolaan yang kemudian berujung pada konflik penguasaan lahan.
Terbukti, banyaknya aksi warga di beberapa wilayah Kalteng hingga saat ini. Walhi Kalteng mencatat, beberapa wilayah yang menjadi lokasi dengan tingkat konflik agraria cukup tinggi di Kalteng seperti Seruyan, Kotawaringin Timur (Kotim), Lamandau serta Kotawaringin Barat (Kobar).
Kasusnya pun hampir sama, didominasi konflik sosial perusahaan dengan masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat yang mendapat kerugian paling besar. Menyalahkan masyarakat dengan menekankan penyelesaian hukum positif hanya akan memperuncing konflik.
Menurut Janang, mestinya pemerintah segera melaksanakan evaluasi perizinan di perusahaan Kalteng. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang ditemukan maka sudah semestinya perizinan tersebut bisa dievaluasi bahkan hingga dilakukan pencabutan izin.
“Sebagai salah satu contoh, bilamana masih ada perusahaan yang belum Clean and Clear (CnC) dalam perizinan yang malah tetap beraktivitas bisa dilakukan pemberian sanksi hukum,” tegasnya.
Janang melanjutkan, perusahaan juga semestinya bisa beraktivitas sesuai luasan izinnya. Jika ada aktivitas perusahaan keluar dari izin, apalagi sampai masuk dalam kawasan hutan, maka harus segera dicabut izinnya.
Perusahaan yang secara ilegal beraktivitas di luar izin adalah bentuk aktivitas yang merugikan negara dan mungkin terjadi indikasi korupsi cukup tinggi. “Pemerintah bisa segera lakukan audit dampak lingkungan dari aktivitas semua perusahaan di Kalteng,” ungkapnya. rmp