PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Bank Indonesia Jumat, 14 Juni 2024, nilai tukar dolar AS menyentuh Rp16.374. Kelemahan nilai tukar rupiah ini diprediksi akan berdampak pada kondisi ekonomi. Masyarakat Indonesia yang memiliki utang jatuh tempo dalam bentuk dolar wajib waspada. Sebab, sejak awal 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kian melemah.
Nilai tukar rupiah menyentuh Rp.16.412/USD pada penutupan perdagangan pekan lalu. Angka tersebut mencapai posisi terlemah sejak April 2020 saat awal pandemi Covid-19 di Indonesia.
Menganggapi hal tersebut, Pengamat dan Akademisi Ekonomi Universitas Palangka Raya (UPR) Fitria Husnatarina meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menyiapkan langkah-langkah untuk mencegah dampak bagi masyarakat Kalteng.
“Dampaknya terhadap Kalteng, kalau konsepnya ekonomi itu bergerak dari senternya, misalnya ini adalah polemik global dan ini merata ke beberapa negara yang pengekspor komoditas tapi kemudian anjlok, dan ini perlu diwaspadai,” ujar Fitria kepada Tabengan, Jumat (21/6).
Dijelaskan, tidak hanya Indonesia yang merasakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
“Tetapi apa yang menjadi dampak bagi Indonesia, ini ibaratnya seperti demam yang dirasakan, ketika ada yang merasa kurang baik harus segera diperbaiki beberapa mekanisme perekonomian itu secara detail dalam lingkup yang lebih kecil,” bebernya.
Sehingga, kata dia, ketika terjadi penguatan dolar terhadap rupiah artinya sebuah bentuk keseimbangan sedang dibentuk untuk peningkatan ekonomi.
“Kemudian, cara kita untuk menghadapinya, yang pertama tidak ada hal yang lebih hebat dari bagaimana kita lebih untuk mencintai, mengonsumsi, menggunakan dan mempromosikan untuk meningkatkan kapasitas produk-produk dalam negeri atau lokal,” jelasnya.
Selanjutnya, Dosen Ekonomi ini meminta pemerintah untuk mengupgrade segala sesuatu dengan konteks point of view (sudut pandang) kepada ekspor apa sebenarnya yang sangat menjadi primadona saat ini.
“Meningkatkan kapasitas-kapasitas yang memungkinkan seperti Indonesia untuk lebih banyak lagi menciptakan dan mengekspor dan kita juga harus membatasi dengan aktivitas impor,” imbuhnya.
Artinya, jelas Fitria, harus bangga menggunakan produk Indonesia dengan kita mulai aware kualitas dan kuantitas dari barang-barang impor.
“Itu adalah sebagai bentuk bagaimana kita sedang mengondisikan nilai tukar kita seharusnya bisa dikuatkan dengan metode ekonomi,” tuturnya.
Jadi, lanjut Fitria, cara membangkitkan kembali orang-orang Indonesia agar sadar dengan berwisata di dalam negeri sendiri dan jangan dulu berwisata keluar negeri.
“Selain itu, manajemen keuangan itu harus bisa dimampukan tidak hanya sekadar konsumtif, tetapi juga harus dalam mengekspor dengan kualitas yang baik. Karena misalnya ketika UMKM tidak sampai di sana dan sulit untuk memasarkan produknya, kita akan kesulitan,” ungkapnya.
Fitria juga mengungkapkan, untuk memperkuat nilai tukar rupiah, secara serentak dan masif yakni dengan menggunakan produk sendiri dan memaksimalkan penggunaannya. Sehingga rupiah akan semakin menguat.
“Maka sentimen yang akan kita geser adalah sentimen positif bagaimana produk-produk kita bisa berkembang dalam penggunaanya serta kualitasnya. Agar kita dapat mengekspor produk kita keluar negeri lebih banyak lagi, sehingga nilai tukar rupiah menguat,” tuturnya.
Karena ada banyak peluang yang bisa memungkinankan untuk menyeimbangkan tetapi juga menguatkan nilai tukar rupiah. Tapi juga ada peluang-peluang besar yang memang strateginya untuk memperkuat ekonomi kita dan melemahnya rupiah pada kondisi saat ini.
“Saya mengatakan ini bicara angka perlu, tapi bicara kontekstualnya perlu lagi kita untuk mempromosikan Indonesia kepada wisatawan asing untuk berkunjung dan aktivitas lainnya yang menggunakan dolar itu dikucurkan di Indonesia,” tambahnya.
Dengan begitu, kata Fitria, mempromosikan produk itu lebih baik agar wisatawan asing dapat tertarik untuk berwisata di Kalteng dan Indonesia. Agar Indonesia mampu mengekspor produk-produk lokal ke luar negeri.
“Dan perlu bagi kita untuk mempelajari perilaku konsumen agar produk yang kita tawarkan bisa sesuai dengan apa yang dia inginkan atau butuhkan oleh pola konsumtif dari masyarakat,” pungkasnya. rmp





