PALANGKA RAYA/tabengan.com – Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palangka Raya Rojikinor dipastikan akan berkantor di ruang Rumah Tahanan (Rutan) Polda Kalteng. Hal ini ditegaskan langsung Wali Kota Riban Satia yang mengatakan, jika nantinya ada sesuatu yang berhubungan dengan tanda tangan Sekda akan ditandatangani langsung Rojikinor dari ruang tahanan Polda Kalteng.
“Saya sudah konsultasi ke mana-mana terkait hal ini, sehingga nantinya apabila ada hal prinsip yang membutuhkan tanda tangan Sekda, maka akan kita bawa ke sana (tahanan). Hal ini diperbolehkan, meski tidak mengantor,” kata Riban, Kamis (3/5) pagi.
Menurutnya, sampai saat ini pihaknya masih belum memikirkan untuk melantik Sekda baru atau dijabat oleh pelaksana tugas, mengingat belum ada putusan tetap untuk Rojikinor.
“Kalau untuk urusan administrasi biasa, tidak perlu Sekda, cukup asisten saja. Persoalan mengangkat Plt Sekda juga gampang, satu jam selesai, namun tidak menyelesaikan masalah. Permasalahannnya hanya pada administrasi keuangan yang memang harus ditandatangani oleh Sekda definitif,” tegasnya.
Riban pun menjelaskan, permintaan tanda tangan ke Sekda hanya urusan yang bersifat prinsip dan tidak boleh diwakilkan orang lain.
Praperadilan Ditunda
Sementara, praperadilan yang diajukan Rojikinnor terhadap Kapolri, Kapolda Kalteng, dan Dir Reskrimsus Polda Kalteng yang seharusnya digelar kemarin, terpaksa ditunda atas permintaan Polda.
“Surat baru masuk ke Bidkum (Bidang Hukum) baru pagi tadi. Karena proses administrasi, kami minta waktu sampai hari Senin (7/5),” kata Kabidkum Polda Kalteng, AKBP Dwi Tunggal Jaladri, kemarin.
Menurut Dwi, pihaknya hadir untuk praperadilan perkara narkotika namun mendadak mendapat pemberitahuan untuk menghadiri perkara peradilan perkara korupsi yang dimohonkan Rojikinnor.
“Kami menghormati penggugat sehingga kami hadir,” tutur Dwi. Dia memastikan pihaknya akan siap menghadapi praperadilan dari Rojikinnor dalam sidang berikutnya.
Kuasa Hukum pemohon, H Syaiful Bahri, H Masrupaini dan Sientje Kurniawati menyebut permohonan praperadilan ini terkait penetapan status tersangka terhadap Rojikinnor.
Penetapan status tersangka dianggap belum memenuhi syarat ketentuan hukum acara pidana maupun peraturan Kapolri yang mengatur penetapan tersangka. Selain itu ada pula kejanggalan dalam penetapan penahanan dan penahanan terhadap Rojikinnor, Senin (1/5) lalu.
“Ada panggilan untuk penyerahan tersangka, Rojikinnor beserta barang bukti ke Kejaksaan Negeri. Tahu-tahu dikeluarkan surat penangkapan dan penahanan,” kata Syaiful.
Kejanggalan muncul karena dalam Surat Panggilan disebut bahwa berkas telah lengkap atau P-21. “Kalau secara hukum, kewenangan (penahanan) itu ada di tangan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tapi penangkapan dan penahanan dilakukan penyidik,” kata Syaiful. Padahal hingga berita ini diturunkan, Rojikinnor belum dilimpahkan dari Polda Kalteng ke Kejaksaan.
Rojikinnor yang melihat ada keganjilan dalam surat panggilan akhirnya tidak mau menandatangani surat perintah penangkapan dan penahanan yang disodorkan penyidik kepolisian.
Trik Gugurkan Praperadilan
Kemarin juga beredar informasi bahwa dalam waktu dekat akan ada upaya pelimpahan perkara dari polisi ke kejaksaan saat praperadilan berlangsung. Mengenai hal ini, Ketua LBH Mamangun Tuntang Mahaga Lewu, Parlin B Hutabarat menilai itu adalah trik polisi untuk menggugurkan permohonan praperadilan.
“Sering terjadi praktek-praktek demikian,” kata Parlin. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ketika perkara yang digugat dalam praperadilan dan perkara pokok sudah dilimpahkan ke pengadilan maka perkara praperadilan akan gugur.
Pelaksanaan sidang praperadilan memiliki batas waktu tujuh hari kerja sejak sidang pertama, namun upaya praperadilan gugur saat pengadilan menerima pelimpahan dan meregister perkara pokok.
Terkait penahanan tersangka yang baru dilaksanakan usai melakukan permohonan praperadilan, dapat memunculkan pandangan negatif dari masyarakat.
“Terkesan abuse of power oleh penegak hukum yang menafsirkan hukum sesukanya,”tegasnya. Penilaian ini dapat memunculkan dugaan sentimen pribadi dalam suatu penanganan perkara dan mencederai citra penegakan hukum oleh Polri. dre/fwa