Ekobis  

Tahun 2019, REI Sudah Bangun 3.000 Unit Rumah Subsidi

PALANGKA RAYA/tabengan.co.id – Pemerintahan Jokowi-JK sudah meluncurkan Program Sejuta Rumah (PSR) bersubsidi guna mempermudah masyarakat berpengahasilan rendah memiliki rumah layak huni. Di Kalteng, sejauh ini Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Kalteng telah membangun 3.000 unit rumah subdisi. “Sejak awal tahun 2019 hingga sekarang telah terbangun sekitar 3.000 unit dan sekarang masih dalam tahap pembangunan agar target realisasi dapat terpenuhi,” ucap Ketua DPD REI Kalteng, Frans Martinus, Kamis (16/5).

Diakui Frans, capaian rumah subsidi di Kalteng cukup baik. Tahun 2018 telah terealisasi sekitar 5.500 unit rumah subsidi atau naik 20 persen dari realisasi periode sebelumnya. Tahun 2019 ini, DPD REI Kalteng menargetkan membangun 6.000 unit. “Meski ada pengaruh dari panasnya suhu politik pada tahun 2019, namun kami optimistis target dapat tepenuhi. Untuk sekarang ini sedang tahap pembangunan di Kelurahan Petuk Katimpun serta tersebar juga di 13 kabupaten lainnya,” ungkapnya.

Frans mengatakan, respon masyarakat terhadap PSR ini sangat baik. Pihaknya juga terus merangkul perbankan untuk menyalurkan KPR FLPP. “Perbankan juga mendukung adanya progam rumah subsidi, sehingga akan lebih memudahkan,” tambahnya. Sayangnya, respons dan dukungan yang positif ini tidak diimbangi dengan peraturan daerah (perda) yang ada di Kalimantan Tengah. Pemerintah daerah belum bisa mengikuti irama dari pemerintah pusat.

“Terkait aturan, belum 100 persen selaras dengan pusat. Ada presepsi dan tafsir yang berbeda terkait soal luas lahan minimal untuk perumahan, berbeda dengan peraturan dari Kementrian,” ujarnya. Sesuai aturan pemerintah pusat, pembangunan kavling perumahan bisa diatas tanah seluas 90 meter per segi dan maksimal 200 meter per segi. Sedangkan untuk di Kalteng, pembangunan kavling perumahan minimal luas tanah yang harus disiapkan 200 meter per segi. Itu cukup menyulitkan pengembang.

“Hal ini yang harus diperhatikan seharusnya peraturan dari pusat bisa diaplikasikan juga di Kalteng, yang jelas sangat menyulitkan dengan harga tanah yang semakin mahal,” jelasnya. Frans juga mengakui, munculnya isu perpindahan ibu kota negara ke Kalteng mengakibatkan harga tanah melambung tinggi.

Hal ini yang mengakibatkan pengembang agak kesulitan dengan peraturan pemerintah daerah saat ini. “Dengan adanya isu tersebut, permintaan akan lahan dan rumah pasti akan meningkat. Namun diharapkan agar lebih merata penyebaran permintaan akan rumah dan property lainnya,” tambahnya. “Yang jelas setiap peristiwa politik pasti ada dampak ekonomi maupun sebaliknya. Maka dari itu pemerintah harus menyiapkan regulasi dan antisipasi berbagai kemungkinan atas wacana tersebut, dengan mengajak dunia usaha untuk berdialog dan mencari solusi terbaik,” kata Frans. m-sda