Gugatan GAPKI-APHI, Teras: Pahami Kebutuhan dan Kearifan Lokal

PALANGKA RAYA/tabengan.co.id – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), baru-baru ini memberikan kuasa hukum kepada Pengacara Refly Harun untuk menggugat UU No.32/2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup, khususnya tentang masalah kearifan lokal yang mengizinkan masyarakat membakar lahan seluas 2 hektare.

Salah satu yang diuji adalah kearifan lokal masyarakat yang dibolehkan membakar hutan maksimal 2 hektare. Refly dalam gugatannya meminta pasal tersebut dihapus, karena pembakaran hutan secara tradisional dinilai sebagai biang kebakaran hutan lebih besar.

Menanggapi gugatan APHI dan GAPKI di MK tersebut, mantan Gubernur Kalteng dua periode, Agustin Teras Narang berharap permasalahan kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan ini harus segera diakhiri.

Teras mengharapkan pihak APHI dan GAPKI mampu memahami secara utuh dan komprehensif tentang kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat di pedalaman.

“Saya punya pengalaman yang sangat menyedihkan tentang upaya pengendalian pembakaran hutan, lahan, dan pekarangan ini di Kalteng tahun 2007. Bersyukur dengan Pergub tahun 2008 dan UU No.32/2009, kearifan lokal dapat terakomodir dengan baik. Sehingga bencana asap tidak terjadi secara meluas,” kata Teras kepada Tabengan, Rabu (31/5) malam.

Teras menambahkan, apakah kearifan lokal yang sudah berjalan baik selama ini, akan tergerus atau akan dihilangkan? Kita harapkan ini tidak akan terjadi.

Teras mengingatkan agar APHI dan GAPKI mampu berkolaborasi dengan masyarakat lokal guna mengatasi masalah ini. “Saya yakin pasti bisa dengan tanpa melakukan judicial review,” tegasnya.

Selain itu, Teras mengatakan, kiranya perlu pendekatan yang manusiawi dan kekeluargaan dengan dasar kekerabatan dan musyawarah serta mufakat. “GAPKI punya pengalaman dalam hal ini,” ujarnya.

Teras juga berharap agar sebelum dilakukan penanaman kelapa sawit, janganlah para kontraktor atau siapapun melakukan land clearing dengan melakukan pembakaran guna menghemat biaya.

Sementara seorang warga Kalteng, Awan Saleh menyatakan, masyarakat selalu jadi kambing hitam oleh orang-orang tertentu, “Warga lokal jadi imbas dari pengusaha besar, dilarang membakar, akibatnya ditangkap, dipenjara, tetapi di satu pihak ratusan perusahaan besar sawit di Kalteng saat melakukan pembersihan lahan hampir 99 persen dengan cara membakar. Adakah mereka ditangkap?” katanya.

Sebenarnya, kata Awan, bisa dihitung ratusan perusahaan kebun sawit yang luasnya jutaan hektare, semua membakar, “Jadi, wajar Kalteng mendapat predikat pengekspor asap terbesar, dan kita yakin bila para pengusaha stop membakar lahan Kalteng pasti akan bebas asap,” tandasnya. vgo