PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Kasus kekerasan seksual yang menimpa Bunga (nama samaran), seorang perempuan dengan disabilitas mental di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Palangka Raya, menyita perhatian publik. Bunga menjadi korban pencabulan yang diduga dilakukan oleh ayah tirinya sendiri, seorang figur yang seharusnya menjadi pelindung dalam keluarga.
Kini, Bunga mendapat pendampingan psikologis dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Disdalduk, KB, P3A) Kota Palangka Raya. Pendampingan ini bertujuan memulihkan kondisi mental korban serta memperkuat sistem dukungan keluarga dalam menghadapi proses hukum yang sedang berjalan.
Psikolog Gerry Olvina Faz, yang juga merupakan dosen Bimbingan Konseling di UIN Palangka Raya, ditunjuk sebagai pendamping utama korban dan keluarganya.
“Layanan yang kami berikan mencakup asesmen kemampuan dasar korban, penyampaian informasi mengenai kekerasan seksual sesuai kapasitas pemahamannya, serta dukungan moril kepada keluarga,” ujar Gerry, Selasa (8/7).
Selain itu, keluarga korban juga diberikan edukasi tentang langkah-langkah perlindungan anak, termasuk akses terhadap layanan kesehatan untuk pemeriksaan fisik. “Kami menguatkan sistem dukungan dari keluarga inti seperti ayah kandung dan tante korban agar mereka mampu menjadi benteng perlindungan emosional di masa mendatang,” tambahnya.
Gerry menegaskan bahwa pendampingan akan terus dilakukan sepanjang proses hukum berlangsung, mengingat dampak psikologisnya sangat besar. “Proses hukum bisa sangat melelahkan secara emosional. Maka kami hadir untuk mendampingi dan memperkuat mereka agar tetap stabil,” tutupnya.
Sementara itu, psikolog sekaligus Dosen Bimbingan Konseling UIN Palangka Raya lainnya, Ari Pamungkas, menyoroti pentingnya memahami relasi kuasa dalam kasus semacam ini. Menurutnya, tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri terhadap anak tiri dengan disabilitas mental adalah bentuk kekerasan berat yang tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga merusak kepercayaan dan stabilitas psikologis korban.
“Meski secara usia korban dewasa, disabilitas mental membuatnya berada dalam posisi sangat rentan. Ia mungkin tidak memahami konsep batasan tubuh, risiko, bahkan makna hasrat seksual. Ini menjadikan tindak pencabulan sebagai bentuk eksploitasi relasi kuasa yang sangat kejam,” jelas Ari.
Ia menekankan bahwa pelaku yang memiliki posisi otoritatif dalam keluarga memanfaatkan kepercayaan dan kedekatan emosional korban untuk melakukan kekerasan terselubung.
“Korban mungkin terlihat pasif atau menuruti, bukan karena menyetujui, tapi karena tidak mengerti situasi yang terjadi. Dalam psikologi dan hukum, persetujuan yang sah harus diberikan secara sadar dan dengan pemahaman penuh. Dalam kasus ini, itu tidak terjadi,” tegasnya.
Ari menambahkan, dalam beberapa kasus serupa, korban bahkan tidak mampu menyampaikan penolakan karena kebingungan atau tidak tahu cara mengekspresikan ketidaknyamanan. Hal ini menuntut penanganan yang sangat hati-hati dan penuh empati.
“Pendampingan psikologis harus dilakukan dengan pendekatan khusus, menyesuaikan dengan kapasitas kognitif korban. Dan yang terpenting, proses hukum harus berjalan dengan mempertimbangkan kondisi korban sebagai penyandang disabilitas yang memiliki hak atas perlindungan maksimal,” tandasnya.
Ia pun mengingatkan pentingnya mengenali relasi kuasa dalam lingkungan keluarga sebagai potensi sumber kekerasan tersembunyi.
“Relasi kuasa dalam keluarga tidak boleh diabaikan. Justru di situlah sering kali letak kejahatan yang tidak terlihat oleh lingkungan sekitar,” pungkas Ari. mak