PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID– Masuknya Kalimantan Tengah dalam urutan 3 inflasi Tinggi dari 10 provinsi di Indonesia, menarik perhatian berbagai pihak, khususnya ahli ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina.
Kepada Tabengan, Selasa (13/9), Dosen yang juga Direktur Galeri Investasi Bursa Efek Indonesia UPR tersebut mengemukakan, dengan masuknya Kalteng dalam urutan 3 provinsi di Indonesia dengan inflasi tertinggi menjadi hal yang harus betul-betul diperhatikan.
Karena lonjakan inflasi ini akan menjadikan barang kebutuhan pokok secara bersama-sama semakin mahal dan sulit dijangkau, atau dapat dijangkau, tetapi dalam jumlah yang semakin sedikit.
“Dampak lainnya yang juga harus diperhatikan tidak hanya pada melonjaknya harga kebutuhan pokok, tetapi kebutuhan dasar lainnya seperti perumahan (bahan bangunan),” bebernya.
Mantan Ketua Ikatan Akuntansi Indonesia Kalteng ini menambahkan, dengan kondisi inflasi yang cukup tinggi, maka daya beli masyarakat semakin rendah. Karena daya beli masyarakat melemah, maka geliat pasar dan aktivitas ekonomi menjadi terganggu (juga melemah).
“Logikanya adalah pada aktivitas kewajaran berusaha pada kegiatan produksi dengan dengan biaya yang tinggi, tidak akan menghasilkan profitabilitas sebagaimana yang diharapkan. Hal ini kembali lagi sangat berkaitan daya beli masyarakat,” imbuhnya.
Fitria juga menjelaskan sebagaimana dalam teori ekonomi berlaku, bahwa dalam kondisi inflasi yang tinggi, maka kecenderungan orang akan menyimpan uangnya (saving), karena tingkat suku bunga dengan saving lebih pasti dibandingkan risiko pasar dengan produksi berbiaya tinggi (menghasilkan barang/jasa dengan harga pokok produksi yang tinggi).
“Ini di sisi pandangan pelaku usaha pada kondisi inflasi yang tinggi,” ujarnya.
Fitria sedikit memberi masukan bagaimana cara untuk meminimalisir kondisi tersebut adalah dengan memberikan kebijakan subsidi, kepada komoditas tertentu yang menjadi pencetus dominan dari inflasi, atau ketersediaan barang dalam jumlah yang sangat cukup, juga menjaminkan bahwa inflasi dalam dikurangi.
Hal dilematis lainnya adalah bagaimana menyediakan kecukupan barang jumlah tertentu yang selalu konsisten, kembali lagi akan berbicara kapasitas produksi (manufaktur) dan aktivitas industrialisasi yang juga tidak mudah dilaksanakan.
“Menurut saya, upaya yang dilakukan pemerintah sudah cukup banyak. Hanya saja, ibarat anak panah yang diluncurkan untuk menembak sasaran, seringkali keluar dari sasaran yang sebenarnya, yang mungkin saja dikarenakan benturan kepentingan. Intinya, dalam proses kebangkitan ekonomi tentunya semua cara, kebijakan dan strategi sudah dicoba, agar semua aktivitas perekonomian tetap stabil, hanya saja pendekatan yang dilakukan terkesan tumpang tindih dan tidak dilakukan secara holistik,” katanya.
Terkait dengan penyebab inflasi adalah beras, Fitria berpendapat bukan hanya komoditas beras sebagai pemicu dari melonjaknya inflasi, tetapi lebih kepada secara serentak kebutuhan pokok lainnya yang ada di pasar melonjak secara bersama-sama. Telur, cabai, bawang, minyak goreng, ayam potong pun menjadi variabel selain beras yang menyebabkan inflasi terjadi.
Disebutkannya, memang benar bahwa kegagalan panen menyebabkan kelangkaan atau ketersediaan beras menjadi terbatas, sehingga harga beras di pasaran menjadi tinggi. Tetapi yang menjadi perhatian adalah pasokan akan bahan kebutuhan pokok lainnya, terutama yang harus diimpor dari daerah lain, juga menjadi penyebab naiknya inflasi secara signifikan.
“Tentunya perlu diingat, kemungkinan besar dari data yang dirilis, inflasi masih akan bergerak naik dipicu penarikan BBM bersubsidi, sehingga bahan baku atau barang jadi yang diangkut dari luar Kalteng akan lebih tinggi lagi harganya,” pungkas Fitria. dsn





