VONIS RENDAH EDY MULYADI-Indikasi Pelecehan bagi Orang Dayak

VONIS RENDAH EDY MULYADI-Indikasi Pelecehan bagi Orang Dayak
Dandan Ardi dan Andreas Djunaedy

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.IDSejumlah tokoh adat Dayak di Kalteng ikut bereaksi atas putusan perkara ujaran kebencian terdakwa Edy Mulyadi, yang dihukum hanya 7 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Andreas Djunaedy, salah satu tokoh pemuda Dayak Kalteng yang dikenal vokal, menegaskan, vonis hakim dinilai sangat ringan dan jauh dari tuntutan hakim 4 tahun.

Seharusnya, ujar dia, hukuman yang diberikan paling tidak separuh dari tuntutan, yaitu 2 tahun. Selain ringan, pihaknya menilai putusan ini juga dirasa tidak memberikan rasa keadilan bagi orang Dayak.

“Bahkan saya ada baca di media nasional, pihak hakim diduga ada yang ingin memvonis bebas. Ini ada apa? Pelecehan ini bagi masyarakat Dayak,” ujar Andreas kepada Tabengan, Rabu (14/9).

Sebagai masyarakat Dayak Kalteng, jelas pihaknya tidak bisa menerima penghinaan dan pelecehan yang dilakukan Edy Mulyadi, karena sangat merendahkan harkat dan martabat suku Dayak se-Kalimantan.

Terkait adanya dorongan peradilan adat bagi Edy Mulyadi, pria yang juga Ketua Kerukunan Dayak Ngajoe Kahayan (KDNK) itu sangat sepakat dan perlu dilakukan. Kalau bisa, seluruh Kalimantan mulai dari Kaltim, Kalbar, Kaltara, Kalsel hingga Kalteng masing-masing melakukan peradilan adat bagi Edy Mulyadi.

Senada, tokoh adat Kalteng lainnya yang juga Mantir Adat Kelurahan Menteng, Kota Palangka Raya, Dandan Ardi menilai, vonis yang diberikan hakim terlalu ringan.

“Tuntutannya 4 tahun, tapi vonisnya hanya 7 bulan lebih saja. Saya rasa ini terlalu ringan, seharusnya harapannya 2 tahun separuh dari tuntutan,” ujarnya.

Hal ini dirasa juga sangat tidak adil, mengingat apa yang dilakukan Edy Mulyadi telah melukai hati masyarakat Dayak Kalimantan, karena ujaran kebencian yang dilontarkan secara publik.

Ketika disinggung perlukah adanya sidang adat bagi Edy Mulyadi, Dandan menilai memang hal itu agak sedikit sulit untuk dilakukan. Pasalnya, Edy ini sudah menjalani proses hukum positif. Artinya akan ada 2 hukum dalam satu kasus dan hal itu tidak boleh terjadi.

“Memang seharusnya dilakukan peradilan adat dulu, baru si EM ini proses hukum positif. Itu yang semestinya dilakukan. Namun kita tidak bisa mengubah hal itu lagi, karena hukum positif sudah dilakukan,” jelasnya.

Menurut Dandan, apabila ingin memberikan rasa puas bagi masyarakat Dayak Kalimantan, bisa saja dilakukan peradilan adat. Namun, tujuannya bukan untuk mencari singer (sanksi adat), tapi lebih ke arah meredam potensi gejolak sosial atau perdamaian. drn