PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID-Tangan kecil Fajar (10) bersama teman-temannya dengan cekatan memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalan Tjilik Riwut kilometer 14, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Mereka terlihat mungil berada di gundukan bak gunung yang membentang hingga ratusan meter. Botol-botol plastik, botol kaca hingga kertas koran menjadi pilihan yang terbaik untuk bisa dijual kembali.
Aktivitas mengais sampah biasanya dilakukan sepulang sekolah. Namun, sejak pandemi melanda di awal tahun 2020, mayoritas anak-anak yang tinggal di sekitar TPA km 14 tidak sekolah.
“Kami sudah lama tidak ikut sekolah online. Tidak punya HP dan pulsa,” celetuk Fajar saat ditemui di rumahnya sehabis mengais sampah pada Mei 2022 lalu.
Buku lusuh yang dia pegang pun selalu dicoba untuk dia pahami. “Ba-pak su…..,” eja Fajar yang terbata-bata. Hening. Berhenti. Dia pun melempar bukunya ke tumpukan koran bekas dan kertas yang berserakan.
Fajar kini duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4. Tapi, dia masih belum bisa membaca. “Saya tiba-tiba saat masuk sekolah sudah kelas 4, terakhir sepertinya kelas 2 SD,” ceritanya.
Fadil, yang kini kelas 5 SD memiliki kemampuan membaca yang lebih baik. Namun, belum bisa mengeja kata demi kata dan membedakan huruf P dan Q.
Tak hanya Fajar dan Fadil, sekitar 56 anak yang tinggal di sekitar TPA km 14 Palangka Raya ini pun memiliki permasalahan yang sama. Ketinggalan pelajaran karena tidak ada HP dan pulsa.
Dua tahun pandemi memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan pendidikan anak di Palangka Raya. Plt Kepala Dinas Pendidikan Palangka Raya Jayani menyebutkan, 80% murid SD kelas 1-3 tidak bisa membaca disebabkan pandemi.
“Di Palangka Raya, learning loss paling terasa di kelas 1 hingga 3 SD,” ujar Jayani pada Oktober 2022.
Learning loss adalah sebuah kondisi hilangnya sebagian pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan akademis. Kata Jayani, ini disebabkan terhenti dan terganggunya proses pembelajaran.
Fajar menjadi satu dari anak-anak yang tinggal di km 14 yang akhirnya mencoba mengejar ketertinggalan. Tanpa masker dan sarung tangan, Fajar mengais langkah demi langkah di gundukan sampah yang beraroma busuk. Berbekal keranjang, mereka tidak putus semangat menyusuri lokasi yang letaknya sekitar 20 km dari pusat Kota Palangka Raya.
“Sekitar dua jam, keranjang ini bisa penuh. Lumayan bisa tambah-tambah bayar sekolah,” ujar Fajar saat ditemui pada 22 Mei 2022 lalu.
Sesekali mereka menuruni bukit sampah itu dengan berselancar. Riang tawa pun sayup terdengar. Dari atas bukit, kemudian mereka turun memencar ke arah rumah mereka masing-masing.
Sebuah rumah beratap terpal dengan dinding triplek kayu bekas menjadi tujuan Fajar untuk pulang. Letaknya hanya berjarak sekitar 5-6 meter dari lokasi dia mencari sampah. Tumpukan sampah-sampah botol plastik dan barang bekas lainnya pun menjadi salah satu sudut di rumahnya. Mereka menampungnya sebelum akhirnya dijual ke pengepul.
Mengejar Mimpi
Meski Fajar belum bisa menulis dan membaca, semangatnya untuk mengejar mimpi pun tak pernah surut. Sekitar 500 meter dari rumahnya, sebuah pondok sederhana yang menjadi bagian dari gedung pengolahan tinja ada kelompok belajar. Luasnya hanya sekitar 50 meter persegi saja. Tanpa dinding dan beralaskan spanduk bekas.
Kelompok belajar ini diinisiasi oleh para suster SSpS dan relawan di Palangka Raya sebagai upaya agar anak-anak mampu mengejar ketertinggalan di bangku sekolah karena pandemi. Setiap Selasa dan Jumat, para suster dan relawan datang untuk mengajar dan membawa buku.
“Kalau pun ada HP di sini, mereka susah beli pulsa internet. Kondisi ekonomi juga memengaruhi belajar mereka,” ujar Fransiskus, Guru SDN 3 Petuk Katimpun saat ditemui di rumahnya.
Katanya, bagi anak-anak yang setiap harinya masih mengais sampah, internet menjadi barang yang mewah.
“Dua tahun mereka harus kehilangan pembelajaran karena HP itu masih mahal,” tambahnya.
Di satu sisi, lanjut Fransiskus, anak-anak harus membantu orang tua mereka mengais sampah, di sisi lain belajar justru jadi beban mereka. Pilihan paling mudah untuk diambil anak-anak itu adalah kembali ke bukit-bukit sampah untuk memenuhi kebutuhan makan dan sekolah. Faktor ekonomi dan kesenjangan sosial menjadi salah satu faktor penyebab terbesarnya. Sayangnya, kata Fransiskus, ini belum ditangani oleh pemerintah.
Berbeda dengan Fajar dan Fadil, Andre (13) harus putus sekolah karena tidak mampu membeli buku pelajaran saat hendak memasuki bangku SMP.
“Adik-adik saya banyak, bapak sudah meninggal, dan tidak ada yang bantu mama cari uang untuk biaya hidup kami dan sekolah adik-adik,” ceritanya.
Sebagai anak sulung, Andre tak memiliki pilihan lagi selain mengais sampah untuk bertahan hidup. (sumber: sr maria fatima)