PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Masyarakat kini perlu waspada, pasalnya berdasarkan penelitian Diego Gombetta dan Steffen Hertog, fenomena radikalisme mulai muncul di kalangan elite dan terdidik. Artinya, paham radikalisme yang dipaparkan segelintir kelompok sudah mulai memengaruhi lini terpenting dalam sebuah negara.
Hal itu diungkapkan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Prof Khairil Anwar, Rabu (8/5). Khairil menyampaikan hal itu saat memberikan materi dalam kegiatan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ektrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) Tahun 2024, di Aula Anggrek Tewu, Kantor Bupati Kotawaringin Timur.
Menurutnya, hasil penelitian BNPT dan FKPT Kalteng tahun 2020, dan 2022 terhadap masih lemahnya literasi digital generasi milenial dan generasi Z dalam bermedia sosial, sehingga Indeks Potensi Radikalisme (IPR) Kalteng masih di atas rata-rata nasional. Namun, seiring dengan kesadaran masyarakat dalam bermedia sosial, IPR 2023 semakin menurun. Berdasarkan survei IPR, Kalteng berada diurutan 18 secara nasional.
“Penelitian Diego Gombetta dan Steffen Hertog dikutip oleh Mun’im Sirry tahun 2023. Fenomena radikalisme tampaknya tidak hanya menyusur pada laki-laki dan generasi milenial. Tapi sudah menyusur kepada perempuan dan generasi Z dan bahkan anak-anak,” tegas Khairil
Menurut Khairil, radikalisasi terjadi karena beberapa teori diantaranya, kesenjangan sosial, politik identitas, afiliasi sosial, terpinggirkan, dan pengaruh ceramah jihadis. Dari hasil penelitian tersebut, ada beberapa tantangan yang masih dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, masih berkembangnya paham ekstrim (radikalisme) di kalangan pemuda, baik ektrim kanan maupun ekstrim kiri.
Kedua, masih berkembangnya paham intoleransi yang mengklaim kebenaran mutlak. Bahkan menurut berbagai hasil survei, akhir-akhir ini paham intoleransi lebih meningkat dibandingkan radikalisme dan ektrimisme.
Ketiga, masih adanya pandangan, sikap, dan gerakan yang menolak ideologi Pancasila. Keempat, era revolusi industri 4.0 semakin mempercepat tsunami informasi hoaks, ujaran kebencian, dan post-truth (pasca kebenaran). Kelima, setiap menjelang pemilu atau pileg seringkali muncul politisasi agama atau suku/etnis, terutama dalam memilih pemimpin.
“Radikalisme adalah suatu ideologi (ide atau gagasan) atau paham dan cita-cita yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara kekerasan atau ekstrem,” tegas Khairil.
Lanjutnya, radikalisme menjadi paham ideologi mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Menebar rasa takut pada orang lain baik dengan ucapan maupun perbuatan. Menghalalkan darah orang lain yang menentang ideologi dan gerakannya. Ingin merubah ideologi Pancasila dengan ideologi tertentu dan sistem NKRI dengan sistem lainnya.
Menurut Khairil, Kalteng merupakan miniatur Indonesia dan dikenal sebagai Bumi Tambun Bungai dan Bumi Pancasila. Masyarakatnya plural dan multikultural, terdiri dari beragam agama, suku, etnis, budaya, tradisi, dan bahasa. Kebhinnekaan, keberagaman dan perbedaan tersebut adalah satu keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan YME.
“Memang, di satu sisi, kebhinnekaan, keberagaman, dan perbedaan menjadi kekuatan dan keindahan ketika dijaga dan dirawat bersama-sama dengan baik, tulus, dan bertanggung jawab. Namun, di sisi lain kebhinnekaan, keberagaman dan perbedaan itu, bisa saja menjadi potensi konflik yang mengarah kepada radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme,” jelasnya. ist