PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Peredaran sebuah video asusila yang diduga melibatkan dua pelajar SMA di Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), menghebohkan publik. Rekaman yang diambil secara diam-diam melalui ventilasi kamar itu kini tersebar luas hingga ke luar daerah tanpa sepengetahuan maupun persetujuan korban.
Menanggapi kasus ini, Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) Provinsi Kalimantan Tengah langsung turun tangan. Aktivis perempuan sekaligus anggota Satgas PPA Widya Kumala, menegaskan pihaknya sudah berkoordinasi dengan UPT PPA Provinsi dan sejumlah stakeholder di Kotim agar penanganan kasus berjalan cepat dan terarah.
“Kami langsung mengambil tindakan sejak kemarin. Koordinasi dengan stakeholder di Kotim terus dilakukan agar kasus ini tidak berlarut-larut dan hak anak tetap terlindungi,” ujar wanita yang akrab disapa Kak yaya tersebut, Minggu (5/10).
Menurutnya, meskipun kasus ini memicu kehebohan, pendekatan yang dilakukan harus tetap berorientasi pada pembinaan, bukan hukuman berat bagi pelajar yang terlibat. “Anak-anak tetap punya hak pendidikan. Jika perlu, relokasi sekolah dilakukan tanpa mengekspos kasus ini secara terbuka. Yang penting, mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan dan mendapat pendampingan psikologis,” jelasnya.
Yaya menekankan pentingnya pemulihan mental korban, mengingat trauma sosial dan tekanan dari lingkungan sangat besar. “Rasa malu, tekanan keluarga, hingga sanksi sosial bisa membekas seumur hidup. Karena itu, pendampingan psikologis adalah kunci agar anak bisa bangkit dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” tambahnya.
Satgas PPA juga mengimbau masyarakat agar tidak ikut memperburuk keadaan dengan menyebarluaskan video tersebut. “Tolong hentikan penyebaran konten itu. Dampaknya sangat besar bagi masa depan anak. Lebih baik kita bersama-sama membantu pemulihan mereka,” tegas Yaya.
Sementara itu, advokat sekaligus Ketua DPC PERADI Palangka Raya Kartika Candrasari, mengingatkan bahwa perekam maupun penyebar video asusila bisa dijerat dengan pasal berlapis. Di antaranya Pasal 27 ayat (1) UU ITE dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 79 ayat (1) UU Pornografi dengan ancaman penjara 6 bulan hingga 10 tahun atau denda hingga Rp2 miliar.
“Jika konten mengandung unsur kekerasan seksual, maka juga dapat dijerat Pasal 14 ayat (2) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Penegak hukum bisa menerapkan pasal secara kumulatif. Jadi ini bukan pelanggaran ringan,” tegas Kartika.
Ia juga menolak adanya mediasi untuk menghapus pidana dalam kasus pornografi anak. “Tidak boleh ada mediasi yang menghilangkan pidana. Kalau untuk saling memaafkan, silakan. Tapi pidananya harus tetap berjalan karena ini sudah termasuk tindak pidana berat,” pungkasnya. mak