PALANGKA RAYA/tabengan.co.id – Diakui atau tidak, perkembangan zaman saat ini menuntut seorang anak tidak hanya harus sehat, tinggi, dan cerdas, namun juga memiliki pertumbuhan mental yang baik.
Uniknya, berdasar penelitian ilmuwan di luar negeri selama 14 tahun, terbukti bahwa kesehatan mental seorang anak juga dipengaruhi asupan Air Susu Ibu (ASI) yang diperolehnya. Artinya, semakin banyak bayi memperoleh asupan ASI, maka akan membentuk mental yang baik, demikian sebaliknya.
Seperti diungkapkan dr Utami Roesli SpA MBA, Ketua Yayasan Selasi (Sentra Laktasi Indonesia) yang juga salah satu narasumber Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng dalam acara Kampanye Pekan ASI 2017 di Ballroom Luwansa Hotel, Rabu (25/10).
Dikatakannya, bayi yang kurang mendapat asupan ASI secara eksklusif akan mengalami masalah kesehatan mental pada jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya pada usia 5 tahun, anak cenderung memiliki gangguan emosional seperti gelisah, berbohong, mencuri, dan hiperaktif.
Sementara saat berusia 14 tahun, anak cenderung memiliki masalah internal seperti menarik diri, gangguan psychosomatik, gelisah, defresif, gangguan bersosialisasi, gangguan perhatian, autisme, hingga gangguan cara berfikir. Untuk masalah eksternal, anak bisa menjadi agresif dan terjadi kenakalan remaja.
“Tidak heran zaman sekarang sering kita mendengar anak SD atau tingkat SMP sudah bisa menyiksa teman sekelasnya atau melakukan bullying. Itu kemungkinan dipengaruhi faktor kurangnya mendapat asupan ASI,” ungkapnya.
Karena itu, ia mengajak semua elemen masyarakat, tidak hanya jajaran pemerintah dan swasta, namun juga para pendidik kesehatan, hingga kaum ibu yang tergabung dalam organisasi TP-PKK agar bersama-sama menggalakkan kembali kesadaran pemberian ASI kepada anak sejak usia 0 bulan hingga anak berusia 2 tahun.
Sebab menurutnya, sudah menjadi tanggung jawab setiap orang tua untuk membesarkan anaknya dengan sepenuh hati dan memberikan asupan terbaik. Dan ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi hingga berusia 2 tahun.
Hal yang sama diungkapkan Ir Doddy Izwandy MA, Direktur Gizi Masyarakat di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa masalah stunting atau tubuh pendek pada anak dipengaruhi minimnya pemberian ASI sejak usia 0 bulan.
Dia menyebut, masalah stunting di Provinsi Kalimantan Tengah masih tinggi, dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya budaya atau pantangan makanan yang dipercayai secara turun temurun. Padahal makanan yang menjadi pantangan tersebut, terkadang memiliki nilai gizi sangat baik bagi ibu dan bayi.
Menurut dia, salah satu upaya mencegah semakin tingginya angka stunting di Kalteng adalah dengan menggalakkan pemberian ASI. Karena di dalam ASI terkandung zat-zat penting bagi pertumbuhan bayi, tidak dapat digantikan dengan susu formula manapun.
“Bahkan pemberian ASI secara eksklusif berperan dalam menekan angka kematian bayi,” ujar Doddy.
Sementara itu, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Provinsi Kalteng dalam sambutan tertulis dibacakan Sekretaris TP PKK Kalteng Titik Sundari mengatakan, pentingnya ASI dalam pencegahan stunting di Kalteng.
Dikatakan pula, adanya fenomena di masyarakat dalam memberikan makanan lain selain ASI pada bayi usia 0 bulan, merupakan penghambat pemberian ASI. Seperti pemberian air perasan santan dan makanan lainnya, yang nilai gizinya tidak sebanding ASI.
“Diharapkan melalui kegiatan ini, dapat memberi pemahaman tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif sejak bayi berusia 0 bulan hingga 2 tahun guna meningkatkan kualitas generasi masa depan dan agar terhindari dari stunting,” katanya.
Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Dr Suprastija Budi mengakui masih tingginya stunting di Kalteng. Bahkan ia heran, meski pihaknya gencar melakukan sosialisasi dan pemberian masukan tentang asupan makanan yang bergizi bagi anak, namun masalah stunting seakan masih tetap ada.
“Diduga karena kurangnya asupan gizi bayi sejak lahir menjadi salah satu penyebab masalah stunting ini,” katanya.
Ke depan, lanjut Budi, pihaknya akan mendorong keaktifan Posyandu agar lebih sering dikunjungi para ibu hamil, terutama usia kandungan semester akhir, termasuk keaktifan para tenaga kesehatan di lapangan.
“Para tenaga kesehatan ini akan kita dorong melakukan sosialisasi ke rumah-rumah penduduk, bukan hanya menunggu didatangi,” tukasnya. ris