Waspada! UU Desa Hanya Dijadikan Alat Kepentingan

RDP-Paparan Sutoro Eko, akademisi dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, dalam rapat dengar pendapat (RDP) umum dengan Komite I DPD RI, Senin (3/2). Tampak Anggota DPD RI dari Dapil Kalteng Agustin Teras Narang, saat hadir dalam pertemuan tersebut. FOTO ISTIMEWA  

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Teknokrasi dan kolonisasi desa menjadi judul paparan Sutoro Eko, akademisi dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, dalam rapat dengar pendapat (RDP) umum dengan Komite I DPD RI, Senin (3/2).

Anggota DPD RI dari daerah pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang mengatakan, dalam pengantar Sutoro menyebut Undang-Undang (UU) Desa tinggal romantisme, karena semangat dan misi besarnya menghadirkan kesejahteraan desa, belum terealisasi.

“Dari paparan beliau, hadirnya UU Desa dinilai hanya kemenangan sementara bagi desa, karena faktanya menurut beliau hanya untuk dijadikan alat kepentingan. Desa dijadikan objek yang mengarah pada kolonisasi meski UU sendiri menegaskan desa menjadi subjek. Desa lebih banyak diatur ketimbang diurus, diawasi ketimbang dibina,” kata Teras dalam rilisnya beberapa waktu lalu.

Dalam 11 tahun terakhir menurutnya, teknokrasi melakukan kolonisasi desa dan memakai pendekatan manajemen yang hanya melayani diri teknokrat sendiri.

Di lapangan juga menurut beliau ada upaya penyeragaman yang menghilangkan keunikan desa, sebagaimana di era orde baru menurut beliau ada Jawanisasi, yang memaksa semua di luar Jawa seakan mesti sama dengan di Jawa untuk kebijakannya.

“Penyataan beliau ini dalam hemat saya menjadi catatan kritis yang perlu dipahami sungguh oleh seluruh pemangku kepentingan,” kata Teras.

“Dalam hemat saya yang beliau saya kenal sejak di DPR RI, bagaimana pun pembangunan memang paradigmanya harus dimulai dari desa. Sehingga pemerintah perlu memastikan kesiapan tidak hanya aparaturnya, tapi juga UU-nya sendiri yang sungguh bisa diimplementasikan dengan baik,” lanjutnya.

Dalam perjalanan legislasinya, UU pemerintahan daerah sendiri memang dulu memiliki arah sendiri soal pembangunan desa, sampai akhirnya lahir UU Desa.

Dari dinamika itu terlihat, negara, pembuat UU seakan hanya bisa berpikir membuat UU, namun tidak melihat secara menyeluruh tentang apa yang harus dilakukan di desa. Tidak paham bagaimana memperkuat masyarakat desa, bukan sekadar memperkuat pemerintahan desanya.

“Catatan beliau pada akhirnya juga memantik pertanyaan apakah konstruksi UU Desa juga mesti dibongkar ulang untuk tidak menjadikannya sekadar UU tanpa daya perubahan. Atau memastikan bagaimana aturan turunannya sungguh bisa mengurangi tumpukan aturan dan tugas teknokratis dari negara, sehingga desa bisa sungguh kuat, mandiri, dan berkreasi untuk maju,” pungkasnya. ist