Konflik Masyarakat Vs Perusahaan Marak di Kalteng

Konflik Masyarakat Vs Perusahaan Marak di Kalteng
TABENGAN/ISTIMEWA JUMPA PERS - Yayasan Petak Danum bersama dengan Walhi Kalteng, LBH Palangka Raya, dan Pusaka, serta Warga Masyarakat dari berbagai desa mengikuti kegiatan Lokakarya dan Pelatihan Advokasi Bagi Komunitas, dan Pembela HAM Lingkungan pada 5-7 September 2022 di Palangka Raya.

PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID Hadirnya investasi di Kalimantan Tengah membawa harapan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu investasi yang cukup marak. Namun, investasi satu ini tidak sedikit yang menimbulkan konflik dengan masyarakat, terkhusus masalah lahan.

Yayasan Petak Danum bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya dan Pusaka menggelar Lokakarya dan Pelatihan Advokasi Bagi Komunitas dan Pembela HAM Lingkungan pada 5-7 September 2022 di Palangka Raya. Ada sejumlah hal yang menjadi hasil sekaligus rekomendasi untuk pemerintah.

Rekomendasi terdiri atas realisasi 20 persen plasma, segera disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan beberapa pelatihan, termasuk pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi kaum perempuan.

Wayan Sutomo, Masyarakat Desa Birumaju, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), dalam keterangan persnya menyampaikan, sekarang ini masih sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit, khususnya masalah lahan. Konflik ini tidak pernah serius dicarikan solusi penyelesaiannya, sehingga konflik terus berkepanjangan.

Masalah 20 persen kebun masyarakat, lanjut Wayan, juga tidak dipenuhi oleh sejumlah perusahaan di beberapa daerah. Tuntutan masyarakat atas 20 persen ini terus disampaikan, namun berujung pada konflik antara perusahaan dan masyarakat. Padahal, apa yang dituntut masyarakat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan.

“Terjadi ketimpangan ekonomi akibat dari tidak dijalankannya kewajiban 20 persen kebun masyarakat ini. Padahal, keberadaan 20 persen ini akan sangat mendukung peningkatan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan. Namun demikian, ada juga perusahaan yang sudah menjalankan 20 persen itu,” kata Wayan.

Senada dengan Wayan, warga Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Ahmad menyampaikan, harapan besar agar Perda Perlindungan MHA dan masalah Hutan Adat segera diselesaikan. Ada begitu banyak lahan masyarakat adat yang sudah dipetakan, namun terkendala aturan untuk pengesahannya.

“Kita juga mengharapkan agar ada payung hukum yang jelas terkait dengan perlindungan MHA. Sebab, di Kabupaten Kapuas keberadaan payung hukum ini sangat penting dalam melindungi MHA. Lahan-lahan yang dimiliki oleh MHA terkadang menimbulkan konflik, terkhusus lahan-lahan yang memiliki nilai ekonomis, seperti perkebunan ataupun yang lainnya,” kata Ahmad.

Sementara itu,  Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya Sandi JP Saragih Simarmata menyampaikan, LBH Palangka Raya senantiasa mendukung langkah MHA dalam memperjuangkan haknya dengan sebaik mungkin. Kewajiban perusahaan untuk merealisasikan 20 persen adalah salah satu pendampingan yang turut dilakukan.

“LBH Palangka Raya juga turut melakukan pendampingan bagi masyarakat adat, khususnya pejuang adat yang dikriminalisasi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih banyak memberikan keuntungan bagi dunia investasi, tapi tidak melindungi masyarakat adat. Masyarakat adat justru mendapatkan kriminalisasi atas perjuangan akan haknya,” kata Sandi.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata menyampaikan, hasil dari lokakarya dengan mengundang banyak pihak pendamping masyarakat adat mendapatkan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi ini sudah melalui tahapan pembahasan yang cukup panjang selama 3 hari pelatihan. Dari hasil rekomendasi ini akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait.

Ada satu pula yang akan menjadi tambahan dalam rekomendasi, lanjut Bayu, berkenaan dengan masalah 20 persen kebun masyarakat. Pemerintah harus mengeluarkan aturan yang menjelaskan secara rinci dan utuh, apa makna dari 20 persen itu, dan seperti apa implementasi di lapangan. Ini menjadi penting bagi semua pihak yang selama ini menuntut 20 persen tersebut.

Berbicara 20 persen, kata Staf Advokasi dan Monitoring Yayasan Petak Danum Kalteng, Ikhwan, penerapannya di lapangan berdasarkan luasan wilayah yang masuk dalam perizinan perkebunan itu. Misalnya, ada Desa A yang wilayahnya masuk dalam areal perkebunan. Desa A itu dilakukan penghitungan sebesar 20 persen dari luasan wilayah desa yang masuk dalam areal perkebunan.

“Contoh lain, apabila dalam sebuah perusahaan terdapat 5 desa. Setiap desa mendapatkan 20 persen berdasarkan luasan wilayah desa yang masuk dalam areal perkebunan. Apabila dikalkulasikan keseluruhan, maka tetap akan tercapai 20 persen,” kata Ihwan. ded