+Gagal, Hutan Gundul dan Anggaran Triliunan Kemana?
PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID – Polemik pembukaan hutan Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk dijadikan lumbung pangan atau food estate mendapat penolakan dari pemerhati lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng dan juga Save Our Borneo (SOB), menjadi organisasi yang gencar menolak dan melayangkan kritikan atas program tersebut.
Pemerhati lingkungan dari SOB, Habibi menegaskan, SOB bersama dengan organisasi pemerhati dan peduli lingkungan seperti WALHI Kalteng dan juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, bersama yang lainnya. Tidak saja menolak, SOB juga dengan tegas meminta program food state khususnya singkong yang berada di bawah Kementerian Pertahanan ini dihentikan. Ada sejumlah catatan yang menjadi dasar, mengapa program lumbung pangan ini ditolak.
Pertama, terkait dengan perizinan, kata Habibi, program ini dinilai melanggar aturan. Program lumbung pangan ini dikerjakan tanpa memiliki dasar hukum. Dasar hukum baru dikeluarkan, padahal program sudah berjalan. Kemudian masalah perizinan, pemerintah mengeluarkan izin membuka lahan dengan luasan yang mencapai ribuan hektare, tanpa melalui mekanisme.
“Permasalahan terbesar adalah penggunaan lahan yang demikian luas, membuat hutan Kalteng menjadi gundul. Dampaknya apa, ketika hujan dengan intensitas tinggi atau pada musim penghujan, membuat banjir di mana-mana terjadi. Daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir, dengan berkurangnya tutupan hutan, menjadi kebanjiran. Lebih parah lagi, lahan yang habis gundul itu ternyata mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya,” kata Habibi, saat menyampaikan tanggapannya terkait dengan masalah food estate di Kalteng, Minggu (20/8).
SOB, tegas Habibi, menuntut pemerintah untuk dapat mengembalikan kondisi hutan yang sudah rusak itu seperti semula. Mekanismenya seperti apa, itu menjadi kebijakan dari pemerintah pusat. Bagi Kalteng, hutan yang rusak itu dapat kembali seperti semua. Poinnya, pemerintah harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dikerjakan dan mengalami kegagalan.
Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Bayu Herinata senada dengan SOB dalam menolak keberadaan food estate singkong di Kalteng. Apa yang terjadi di Kabupaten Gunung Mas, pembukaan lahan seluas 600 hektare, namun gagal dilaksanakan programnya adalah bentuk kejahatan lingkungan. Dikatakan menjadi kejahatan lingkungan karena bencana yang ditimbulkan atas kerusakan lingkungan tersebut.
Pemerintah, lanjut Bayu, tanpa kajian yang jelas, tanpa dasar hukum yang jelas, langsung membuka lahan dengan alasan program lumbung pangan untuk ketahanan pangan. Kegagalan program tersebut justru masyarakat yang harus menanggung akibatnya. Tidak saja bencana banjir, tapi juga bencana kekeringan. Terbukanya tutupan hutan yang sangat luas, membuat berbagai ekosistem yang ada di dalamnya menjadi rusak dan masyarakat kembali harus merasakan dampak kekeringan.
Tidak itu saja, tambah Bayu, program ini ketika hadir tidak memiliki kejelasan terkait dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). WALHI Kalteng bersama dengan pemerhati lingkungan lainnya ikut melakukan pengawasan terhadap masalah KLHS ini. Hasilnya diketahui KLHS program lumbung pangan ini tidak jelas.
Hutan yang dijadikan lokasi food estate, Bayu menguraikan, hutan yang digunakan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan hidup. Hutan ini ketika dijadikan program lumbung pangan, tidak saja membatasi masyarakat dalam mengambil hasil hutan, tapi juga menghilangkannya. Bagaimana tidak, masyarakat yang awalnya mudah keluar masuk hutan, justru dihalangi dan dilarang untuk mengambil hasil hutan, dengan alasan ada program pemerintah.
Ini, kata Bayu, bentuk dan upaya yang dilakukan dalam menghilangkan sisi kehidupan sosial masyarakat. Di sisi lain, masyarakat setempat juga kehilangan sumber pangan lokal seperti padi hasil berladang. Atau sekadar mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari. Ini juga bentuk pelanggaran HAM atas masyarakat setempat.
Terakhir, ungkap Bayu, kejadian food estate singkong itu gagal. Ada banyak hal yang harus menjadi perhatian pihak-pihak terkait atas kegagalan itu. Hal yang paling utama adalah masalah anggaran yang mencapai triliunan rupiah. Seperti apa pertanggungjawaban atas anggaran sebanyak itu, atas program yang gagal. ded





