PALANGKA RAYA/TABENGAN.CO.ID– Pakar Hukum Pidana Dr Chairul Huda SH MH dan Pakar Hukum Tata Negara Dr Margarito Kamis SH MHum menganggap dakwaan untuk terdakwa mantan Bupati Kapuas Ben Ibrahim S Bahat dan Ary Egahni tidak terbukti, dan terdakwa harus dibebaskan. Hal tersebut disampaikan dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangka Raya, Kamis (2/11).
Choirul Huda menyatakan, pasal yang didakwakan itu menerima gratifikasi, yakni Pasal 12 huruf B dan memotong dari kas umum seolah-olah punya utang kepadanya pada Pasal 12 huruf f Undang-Undang Tipikor.
“Bahwa yang tidak terbuktinya, apa yang dianggap sebagai gratifikasi adalah sumbangan pada waktu yang bersangkutan mencalon sebagai kepala daerah. Sumbangan ya sumbangan, sehingga kemudian ada mekanisme tersendiri. Kalau misalnya ternyata tidak sesuai dengan aturan, baik jumlahnya maupun tata cara pelaporannya, yaitu ada rezim hukumnya sendiri. Tapi bukan tindak pidana korupsi,” ujar Chairul.
Baginya, gratifikasi harus diterima langsung oleh yang bersangkutan. “Ini ibaratnya kalau sumbangan untuk satu masyarakat supaya memilih yang bersangkutan, tentu tidak dalam konteks tindak pidana korupsi,” bebernya.
Terkait dakwaan memotong kas umum, dia menyebut para terdakwa tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengelolaan kas umum.
“Karena itu tidak menjadi sasaran norma dari tindak pidana yang didakwakan. Dari dua sisi ini, kalau menurut saya para terdakwa harus dibebaskan. Apalagi ibu Ary, ibu ini tidak ada hubungannya dengan pemerintahan daerah. Kebetulan sebagai istri saja, jadi berlebihan ini tindakan penegakan hukum terhadap yang bersangkutan,” terangnya.
“Harusnya kalau memang ada pemotongan dari kas umum, ya tentu SKPD-SKPD yang harus bertanggung jawab, karena dia yang mengelola kas umum, karena para kepala SKPD adalah pengguna anggaran,” bebernya.
Hal senada diungkapkan Dr Margarito Kamis, Ahli Hukum Tata Negara, menyatakan dalam keterangan sebagai ahli bahwa semua hal berkaitan dengan pemberian dan sumbangan saat menjadi calon kepala daerah tidak bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Karena pada saat menerima sumbangan ataupun pemberian tidak dalam kapasitas sebagai pejabat negara yang memiliki wewenang, di mana kewenangan itu bersumber dari hukum.
“Setiap calon kepala daerah berhak menerima sumbangan, baik dari perorangan maupun dari korporasi, bahkan ketika yang berangkutan sedang cuti sebagai kepala daerah. Persoalan dilaporkan atau tidak ke KPU, itu persoalan administratif, bukan korupsi,” katanya.
Ahli kembali menegaskan, perihal suap itu terjadi ketika dia menerima dalam kapasitasnya sebagai bupati, bukan sebagai calon bupati atau calon gubernur.
“Dia menerima itu dalam kapasitas sebagai bupati,” kemudian dipertegas “Harus selalu dipertalikan dengan wewenang yang dilakukan” dan menegaskan kembali “Kewenangan itu bersumber dari hukum”.
Atas dasar itulah terdakwa I harus dibebaskan, apalagi terdakwa II karena dia sebagai seorang istri dan bukan penyelenggara negara atau ASN, sehingga dibebaskan demi hukum.
Pada closing statementnya kedua ahli menyatakan, Margarito Kamis ahli hukum tata negara, “Saya minta kepada majelis hukum untuk tidak takut, tidak bimbang ragu dan tidak terpengaruh propaganda yang ada di dalam persidangan, by the law untuk membebaskan para terdakwa.”
Begitu juga menurut Chairul Huda, ahli hukum pidana, dalam pernyataannya “Majelis hakim harus memutuskan sesuai pasal yang didakwakan, tidak boleh di luar itu, sehingga para terdakwa harus dibebaskan.” ist





